Orang Baik itu Selalu Ada, kok!

Diposting oleh naela , Rabu, 17 November 2010 06.30


Ya, bahkan di Jakarta yang semua orang memakinya jahat pun, orang baik masih bertebaran. Bukan apa-apa, tapi ini sungguh-sungguh.


Orang baik adalah orang yang tidak jahat. Memang, apalagi? -__-"

Bagi saya, orang baik itu bermakna luas, karena baik sendiri adalah kata sifat yang relatif, dan dapat diturunkan. Misalnya, jujur, penolong, rela berkorban, ramah, bertanggungjawab.. semua akan berujung pada kata baik kan? Dia baik karena rendah hati, dia baik karena penyayang.. dst dst.

Tapi, terkadang, buat saya, baik adalah ketika orang itu berhasil memberi manfaat baik orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Baik dapat dipersepsikan oleh orang lain, ketika hati orang itu tersentuh oleh si orang baik, saat ia terbantu, dan ditolong.

Sejujurnya saya ingin bercerita tentang salah seorang senior saya di kampus, yang sangat baik, dan saya super sekali terkesan dengan tindakan dia ini.

Di kampus saya, setiap minggu ada diskusi dua kali, setiap Senin sebagai pertemuan pertama, dan Kamis sebagai pertemuan kedua. Diskusi hari Senin, saya dan kelompok saya (ber-10) membahas kasus yang diberikan, kemudian pada diskusi hari Kamis, kami mempresentasikan masing-masing LTM yang telah dibagi pada diskusi pertama.

Bingung? Saya juga malas menjelaskan. Bosan. Hahaha

Intinya, LTM ini adalah tugas mandiri yang harus dikerjakan oleh masing2 anak, dengan topik sama sesuai kasus, dan judul yang berbeda. Ambil saja kasusnya tentang kanker. Saya membahas mekanisme kanker (patofisiologi, patogenesis), teman saya yang lain membahas faktor risiko kanker, dst dst. Dan ketika diskusi 2, LTM dipresentasikan, sharing, lalu sama-sama mengkaji topiknya.

LTM ini harus difotokopi 10 kali untuk anggota lain dan fasilitator kelompok

Dan senior saya yang baik ini, menawarkan bantuan kepada saya untuk menge-print LTM sudah jadi tentang Lepra, karena print saya rusak. Apa yang dia lakukan? menge-print 10 kali! tinta berwarna! SUBHANALLAH.

Saya sudah memaksa untuk diprint sekali saja, itu sudah makasih banget alhamdulillah banget. Tapi, dia sangat terlampau baiknya, karena tau hari itu idul adha, tidak ada fotokopian buka, besok saya diskusi jam 7 pagi dan belum tentu fotokopian kampus buka juga, maka dia mengeprint-kan semuanya. Sepuluh halaman. Berwarna. langsung saya mendoakannya, semoga senior saya ini menjadi dokter hebat disayang pasien! AMIN!

Dia mengelabui saya. Dengan dalih sedang asyik menonton televisi selama 15-30 menit, dan menemukan fotokopian di Salemba, dia mengeprint ltm saya bolak-balik, baru setelah itu dia memberikan kepada saya. SUPER BAIK KAN? Dia yang menawarkan bantuan terlebih dahulu. Saya sendiri speechless. Asli. Bahkan, untuk tinta printer sendiri aja saya suka irit.. :( bandingkan dengan dia!

See? White lie bahkan juga berperan, bahwa orang itu memang baik.
BAIK SEKALI.


Saya benar-benar terinspirasi.
Semoga saya bisa seperti itu, memberikan lebih kepada orang lain yang telah memberikan sesuatu kepada kita :)




Totomatoto #3

Diposting oleh naela , Sabtu, 13 November 2010 01.59

Kost Falya, Kukusan Kelurahan, Depok, Juni 2005.

“Kenapa kamu suka asamnya tomat?”

Audrey sedang membantu Falya mengemasi buku-buku dan kumpulan diktat kuliah miliknya ketika gadis mungil itu berencana pindah kost dari Kukel (Kukussan Kelurahan) ke daerah Kutek. Sebenarnya, sudah lama Falya ingin pindah karena tubuh kecilnya sering kelelahan ketika harus berjalan agak jauh dari terminal bus kuning, namun baru kali ini ia sempat mengadakan kegiatan beberes yang tak sedikit menguras tenaga ini. Tentu saja setelah musim ujian berakhir.

“Karena,” Falya menjatuhkan tumpukan buku-buku itu sehingga timbul suara berdebum, “Asam itu bijaksana.”

Audrey memasukkan buku-buku yang dijatuhkan Falya tadi ke mobil Ivan, teman kampusnya. Cowok itu sengaja meminjam mobil Ivan demi membantu Falya pindah kost karena gadis itu tidak mempunyai sanak saudara yang dekat dengan kampusnya. Sudah hampir setahun keakraban itu mengikat mereka. “Maksud kamu bijaksana?”

“Yah, asam itu pengingat kita, kalau hidup tak selamanya manis, tak selalu pahit, dan tak melulu datar tanpa rasa.”jawabnya masih tak menengok ke arah Audrey, sibuk dengan kumpulan kertas-kertas yang sedang ia pilah. “Asam itu penuh kejutan, seperti keajaiban yang muncul tiba-tiba. Seperti kita yang selalu menyipitkan mata ketika asam menyentil lidah kita, ada kejutan di situ. Semua tergantung kita, bakal terus berjalan menanti asam-asam lain, menetralkan lidah dengan air putih tawar atau sirup manis, atau bahkan minum jamu brotowali yang pahit.” Falya tertawa kecil membayangkan brotowali dengan harum semerbak itu hinggap di bibirnya, pahitnya bukan main. Ia pernah mencicipinya ketika neneknya membelinya di sebuah pasar yang ada di Jogja.

“Yah, Hidup itu, baik pilihan maupun sudah dipilihkan, pasti berjalan karena kita.”Sambung Falya.

Audrey terhenti dari pekerjaannya sesaat, memutar tubuh. Ia menatap tubuh mungil yang masih berjongkok di hadapan kertas-kertas berserakan itu. “Aku pikir isi kepalamu hanya ada Raja Totomato, Totomatoko, Totimoti, Tomatito, de-es-be.. de-es-be..”

Falya mendongak, “Baru tahu, ya? Aku tomat ajaib!” serunya girang.

Cowok di hadapannya menggelengkan kepala akan ulah ini, “Pastinya.”

Mendadak, Falya bangkit, lantas berjalan mendekati Audrey yang kembali menekuri buku-buku dalam bagasi kijang Ivan yang harus segera dirapikan demi efisiensi ruang untuk barang-barang lain. “Tangan,”gadis itu menggantungkan telapak tangan yang menengadah di udara, tepat di hadapan wajah Audrey, seperti anak kecil yang meminta uang.

“Apa?”Audrey berbalik.

Tanpa dijawab, Falya menyambar tangan kanan Audrey. Gadis itu mengeluarkan sebuah pulpen, kemudian tangan Audrey ia balik, punggung tangannya berada di bawah. Di atas telapak tangan cowok yang kini tengah kebingungan itu, Falya mulai menggoreskan sesuatu. “Fal, Fal, apa-apaan sih?” Audrey tidak siap dengan gerakan tiba-tiba ini.

Falya mendelik, “Diam saja! Jangan banyak gerak, deh!” Dan Audrey menyerah, tidak mungkin menghalangi niat Falya.

Sepuluh detik kemudian, Falya bersorak, “Selesaaaaai!”serunya seraya memamerkan buah karyanya yang tertambat di tangan Audrey, seperti seorang pelukis besar yang baru saja menyelesaikan masterpiece-nya. Cowok itu mengamati dengan seksama. Ada bulatan kecil memenuhi sebagian besar telapak tangannya, dengan rumbaian daun-daun di puncak bulatan itu. Membentuk gambar buah.

“Apa ini? Jeruk?” Ia berseloroh usil. Jelas-jelas ia tahu Falya sedang menggambar tomat.

Gadis di hadapannya memberengut, ia sadar ia tidak begitu pandai menggambar. “Ini tomat!”

“Mana? Tidak ada tulisannya kalau ini tomat.”Audrey tidak menyerah.

Tanpa dinyana-nyana, Falya kembali menarik tangan Audrey, mendekatkan ke wajahnya untuk melihat detail yang lebih jelas. Gadis itu kembali menorehkan sesuatu di situ dengan penanya. Beberapa saat kemudian, ia tersenyum lebar, tampak puas. Sedangkan Audrey penasaran dengan apa yang ditambahkan gadis mungil yang kini terlihat menggemaskan dengan pipi bulat kemerahan itu, pada telapak tangannya.

Tak perlu waktu lebih dari dua detik bagi Audrey, sampai akhirnya tawa cowok itu menyembur keras-keras ketika melihat apa yang terjadi di telapak tangannya. “Kamu polos banget, sih! Memang ABG!” Tawanya membuyar, susah reda.

Kini, tepat di bawah goresan berbentuk bulat itu terdapat tulisan ‘Ini tomat’.

Falya meringis lucu. Audrey tidak tahan untuk tidak mengacak-acak rambutnya, “Dasar tomat bodoh!” Cowok itu tidak menyadari bahwa tindakannya barusan membuat sekujur tubuh Falya sontak seperti disengat listrik. Spontan, gadis itu membekap dada, merasakan jantungnya kembali berdegup. Ia tidak bisa menyembunyikan semu pipinya, namun cukup tersiksa dengan deru di dadanya yang tak kunjung melambat.

“Hmmm.. sepertinya kamu butuh rak buku, Fal.”

Falya tergagap, “Eh.. apa?”

Audrey memandang ke arahnya dengan tatapan sangat tenang, “Kamu perlu rak buku, Falya sayang… Sepertinya ini sangat kurang. Kamu ‘kan masih tahun pertama.”

Gadis itu mengangguk seperti robot. Falya sayang? Panggilan itu menggema-gema dalam pikirannya. Sontak, Falya mengetuk-ngetukkan kepalanya dengan tangan mungilnya. Gemas. Kamu kenapa sih, Falyaaaaa?

“Mau aku buatkan?”

Falya makin mirip orang ling-lung. “Em… ya?”

Audrey mengangguk yakin, “Aku buatkan rak untuk kamu, ya? Mau tidak?”

Gadis mungil di hadapannya mengerjap. Belum kembali ke kenyataan setelah kejadian yang entah bagaimana caranya masih membuatnya belum merasa berpijak di bumi, ia kembali dikejutkan oleh seorang Audrey. “Em… yah, mau… mau.”ia menjawab ragu, berusaha mengendalikan diri secepat mungkin.

Tawa renyah itu menguar, “Kamu kenapa sih? Sok malu-malu.”

“Iya, mau! Sekalian dibuatkan rak buku dengan corak tomat, semua tentang tomat! Dan jangan lupa buat lambang itu di raknya, ya!” Entah mendapat kekuatan dari mana, Falya justru terlampau menguasai diri. Lambang yang ia maksud adalah lukisan tomat dan ‘ini tomat’ yang tergores di atas telapak tangan Audrey. Cowok itu tak menyadari tingkah aneh Falya. Ia kembali terpingkal.

“Sudah kuduga. Pasti bakal ngomong begitu. Request diterima.” Audrey nyengir kuda.

Jakarta dari Kacamata Cinta

Diposting oleh naela , Jumat, 12 November 2010 05.59

Jakarta yang bising sering memekakkan telinga dan meredakan semangat belajar.


Tapi, di Jakarta juga saya menemukan teman-teman baru dari segala macam sisi. Saya berbagi, dan belajar tentang mereka dari sudut pandang asal mereka. Itu mengesankan, dan mengasyikkan ketika saya berhasil diterima.

Saya cinta kampus saya. Sungguh.

Mungkin, ketika nanti saya sudah pergi dari kampus ini, dari Salemba, dari Jakarta, saya akan terus merasa kangen. Seberat-beratnya hidup di Jakarta, kota inilah yang mendidik saya untuk mandiri, jauh dari orang tua, menikmati segala tantangannya, dan menemukan banyak pengalaman baru.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, saya bisa merasa se-terbiasa ini. Dulu, ingin sekali kabur dari sana tidak kembali lagi. Karena benar-benar berat. Hidup yang super jauh berbeda dengan Jogja.

Tapi, orang seperti saya yang manja dan mudah merengek atau menangis saja berhasil mencintai Jakarta, bagaimana dengan Anda?

Menurut saya, Jakarta tidak perlu ditakuti. Jakarta adalah kota untuk ditaklukkan. Karena, tidak ada tempat lain lagi yang kehidupannya lebih berat dari Jakarta. Kalau berhasil menaklukkan Jakarta, kemana pun akan pergi, tentu akan menjadi lebih mudah, karena yang tersulit telah dilalui.

:)




Aku Tidak Mau Bego

Diposting oleh naela , Selasa, 09 November 2010 12.11

Warning: Seratus persen curhat.


~~~~~~~~~~~~~~~~~


Sebenarnya, saya bukan orang yang terlalu memikirkan hasil akhir, ataupun mempermasalahkan sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasi (baca: protes). Karena toh yang penting cara kita menggapai, dan bagaimana langkah kita melakukan proses itu agar makin berkembang dan proses-proses yang sudah baik kelak jadi kebiasaan.

Apa pun yang saya dapat, akan menjadi evaluasi bagi diri saya, dan tentu saja, perbaikan ke depannya.

Sebenarnya juga, semua berawal dari sejarah saya bisa menjadi bagian di kampus ini.

Hm. Bukan menjadi barang asing ketika kuliah adalah 'dunia kamu adalah kamu, saya adalah saya'. Nilaiku adalah nilaiku, nilaimu adalah nilaimu. Urusanku-urusanku, urusanmu-urusanmu. Bahkan di fakultas yang menjunjung kesejawatan pun, sedikit-banyak hal itu masih ada. Bukan, saya tidak mau menyalahkan teman-teman saya, mereka sudah terlalu berjuang dan kami pun sama-sama sudah berusaha agar mendapatkan hasil yang maksimal. Tentir praktikum, tentir kuliah, koordinasi slide kuliah, tugas, dan seterusnya, adalah upaya kami untuk kami juga, dan itu sudah menunjukkan bahwa kami, paling tidak untuk saat ini, mau memikirkan orang lain. Intinya, memang ada beberapa teman kadang, bisa dibilang, menyebalkan. Apalagi di tempat penuh kompetisi ini.

Tapi, so what? Dunia tidak akan seru jika dipenuhi oleh satu macam warna, oleh karena itu di dunia ini ada berbagai macam warna manusia. Dan kita? Selain memiliki satu warna pada diri kita sendiri, tentu kita harus bisa menjadi penikmat warna-warni pribadi orang lain.

Poin berikutnya adalah, saya nyasar. Ya, bahkan sampai detik ini saya masih sering berpikir, kok bisa saya ada di kampus ini? Geli kan? Sama. Bahkan it is much more more than i could have dreamed, mimpi pun tidak pernah. Maka, ekspektasi saya di sini juga tidak muluk, saya cuma mau lulus tepat waktu dengan nilai baik (minimal bisa buat masuk spesialis nanti, amin). Tapi, saya juga punya cita-cita tinggi, sebut saja menjadi profesor yang aktif riset di kemudian hari, dan menemukan penyakit atau terapi baru. (Amin lagi)

Kalau boleh jujur, belum pernah saya merasakan kondisi belajar super hebat, dengan anak-anak super pintar (ini tujuh rius sumpah demi ga bohong), super rajin (ini tak terbantahkan), super telaten, super-bisa-apa-aja, super-bisa-ngatur-waktu, super-juara-pas-SMA (ini beneran, sebagian besar), dan seterusnya dan seterusnya. Minder? Jarang, karena pada nyatanya saya diterima dan mereka orang-orang baik. Kagum? Sering. Iri? (dalam konteks baik) Sering. Terinspirasi? Tentu saja. Sebel? Pernah. Merasa menjadi anak paling malas di kampus? Super sering. Merasa paling santai dan ga ambil pusing? Selalu, bahkan sampai sekarang.

~~~

Pengalaman sekolah di SMP dan SMA di Jogja yang, kalau boleh saya bilang, nilanya juga cukup pelit, saya pernah mengalami remed, atau pun mendapatkan nilai yang 1 tambah 1 lebih dikit (hehehe xp) membuat saya cukup kebal terhadap nilai. Bukan cuek, tapi saya pernah mengalami hal itu, tidak cuma sekali, jadi saya bukan tipe orang yang jatuh hanya karena nilai jelek, atau drop, atau memperoleh masalah tidak sesuai dengan ekspektasi. Sedih ada, kecewa ada, tapi insya Allah saya bisa meng-handle nya. Sedikit-banyak, saya senang dengan sisi diri saya yang ini.

Maka, here I am.

I had got bad mark for my exam, and I will do and prepare better for the next.

Mungkin itu yang harus saya sematkan dalam-dalam sekarang.

~~~~~~

Curhat saya nambah nih, hehe. Sejujurnya, saya belum pernah merasakan seumur hidup, belajar seintensif ini, se-ngoyo ini, segila ini, dan semua-semuanya. Bisa dikatakan, belajar di kampus ini adalah effort terbesar saya seumur hidup, jauh lebih berat dari usaha sebelum saya mencari bangku kuliah. Tapi, see? Itu pun masih kurang, dan saya masih harus belajar lagi.

Alhamdulillah, Allah masih menegur saya dengan hal ini. Saya tidak harus belajar lagi untuk remedial. Rasa kecewa saya sebenarnya berakar dari, sudah jauh-jauh saya kuliah meninggalkan kampung halaman, kenapa saya masih kurang berusaha? Kesal. Bayangan tidak bisa memberikan terbaik pada orang tua, mengecewakan mereka, berputar-putar di otak seperti Voldemort, menyerap kebahagiaan.

Tapi kembali lagi, bukan nilai yang saya cari.

Saya mau jadi dokter.

Saya tidak mau bego, lalu saya tidak kompeten, dan saya merugikan pasien. Saya nggak mau bego dan jadi dokter abal.

Tapi saya juga nggak mau jadi dokter yang di masa belajarnya terpaku pada angka di atas kertas.

karena, seumur-umur, saya belum pernah melihat pasien bertanya ke dokternya? "Dok, dulu nilai pas kuliah berapa?" (LUPAKAN, ini random)

~~~~~~

Kalau roda yang berputar itu bisa bicara, tentu dia akan memberitahu saya kapan saya akan jatuh. Tapi sayangnya, dia cuma diam, jadi saya tidak pernah tahu kapan saya ada di bawah. Naik-turun. Itulah hidup. Jadi, sebagai manusia yang penuh keterbatasan, saya sadar saya hanya bisa berusaha terus dan terus.

Ini akan jadi pemicu dan pengingat, bahwa saya tidak boleh ditelungkupi rasa malas dan mudah-jenuh terlalu lama (karena kedua hal ini sangat manusiawi). Ini akan jadi bahan belajar bahwa motivasi saya harus ditingkatkan lagi. Seperti proses pendengaran yang mengubah energi suara menjadi energi listrik, saya harus bisa mengubah rasa sedih dan kecewa menjadi semangat. Toh masih ada waktu. Dan memang benar kan, waktu tidak mengenal terlambat untuk belajar menjadi lebih baik.

Ini akan jadi cambuk saya untuk menjadi lebih dewasa. Semoga saya bisa menjadi lebih baik lagi.


Sekian.
(berasa surat) hahahaha xD





Totomatoto #2

Diposting oleh naela , Sabtu, 06 November 2010 22.33


Universitas Indonesia, September 2005.

Falya hampir saja mencelat kaget ketika bertemu dengan Audrey di Jembatan Teksas (Teknik-Sastra) siang itu, sepulang kuliah. Mereka berjalan dalam arah yang berbeda, dan bertemu di tengah-tengah. Sosok itu tentu saja sangat tidak asing baginya.

“Hei, kamuu.. si Taksaka!”teriak Falya heboh, menunjuk Audrey dengan telunjuk.

Audrey terperanjat sampai akhirnya mengenali Falya, “Kamu… Tomat!”

Tawa renyah dari keduanya mengudara, diliputi keterkejutan yang menyenangkan. Langkah kaki mereka membawa kedua sosok itu ke Kantek (Kantin Teknik) untuk sekedar duduk sambil mengisi perut yang lapar. Dalam kesempatan itulah, akhirnya Falya mengetahui bahwa Audrey kuliah di jurusan desain interior, sedangkan dia sendiri mengambil teknik kimia. Di saat itu juga Falya tahu bahwa Audrey berasal dari Jawa, lebih tepatnya Kutoarjo, dan sudah tiga tahun kuliah di UI. Tahun depan Audrey akan menyelesaikan skripsi, agar cepat lulus dan bekerja. Sebagai anak satu-satunya dan kelak menjadi tanggungan orang tua, ia ingin segera membahagiakan ibunya yang tinggal seorang diri di Kutoarjo.

Audrey tidak bisa menyembunyikan tawa ketika ritual makan tomat itu tetap berjalan. Masih seperti biasa, dengan Tupperware orange yang tidak pernah absen sekalipun dari ranselnya, Falya mengunyah tomat di hadapan Audrey.

“Masih benci tomat?”Tanya Falya sambil terus mengunyah.

Cowok di hadapannya mengangguk geli. “Hei, Putri Tomat. Umur kamu berapa, sih?” Iseng, Audrey bertanya. Sosok ini terlalu imut jika menyandang titel anak kuliah.

“Enam belas.”

Audrey terpana. “Kamu serius?”

“Dua-rius seperti dua tomat yang baru saja aku habiskan.”

Antara kagum dan kaget, karena yang ada di hadapannya benar-benar ABG, Audrey akhirnya berseloroh, “Kamu terlalu memuja tomat, sih. Jadilah kamu bantet seperti tomat, kecil seperti tomat, aneh seperti tomat...”

“Iya, aku tahu. Kamu jangkung, tidak aneh, dan dewasa!”tukas Falya sewot, diikuti semburan tawa Audrey yang lama berhenti.

Pertemuan Falya dengan Audrey hari itu adalah benih yang baru saja memunculkan tunas. Benih kecil yang disemai waktu, ditanam ketika berada di kereta api, dan sedang berangsur tumbuh.

*&^%$#@

Teras Kost Audrey, Kukusan Teknik (Kutek) Depok, Januari 2005.

“Ini.”Falya menyodorkan sepapan kayu yang telah ia haluskan pada Audrey, “Sebenarnya kamu mau jadi desainer interior atau tukang kayu, sih?”celetuknya tanpa tedeng aling-aling.

Yang ditanya tergelak, “Dua-duanya. Desainer interior yang bisa mengolah kayu.”jawab Audrey, tak teralihkan dari pekerjaannya memaku dua papan kayu. Keduanya telah ia haluskan, ia ingin pekerjaannya cepat selesai. Ini kali kedua ia mencoba membuat rak buku dengan tangannya sendiri.

Falya menghela napas, tak berkomentar. Setelah mencuci kedua tangannya, ia kembali mengeluarkan Tupperware orange kebanggaannya, dan kembali mengunyah tomat. “Aku tidak mengerti, kenapa ada orang yang diciptakan seterampil kamu dalam hal paku-memaku, poles-memoles, pahat-memahat, semuanya. Aneh, Raja Totomatoko XVII tidak mengutukmu biarpun kamu membenci tomat.”

Audrey menyunggingkan senyum manis. Dia hafal mati dengan segala imajinasi Falya, maupun selorohnya mengenai tomat. Pecinta tomat yang satu itu masih tetap menjadi sosok unik di matanya, karena ia selalu bertingkah laku apa adanya. Audrey sendiri sadar, dia telah memberikan ruang bagi Falya untuk menjadi dirinya sendiri, di hadapannya.

Seketika, Audrey teringat sesuatu. Tangan penuh serpihan kayu itu merogoh saku celana, kemudian mendekat ke arah Falya, duduk di samping cewek itu. “Buat kamu.” Katanya sambil menjulurkan sesuatu tepat di depan Falya.

Falya tertegun sesaat. Ia mendapati satu buah gantungan kunci kayu berbentuk tomat dengan warna merah segar, di atas telapak tangan kekar itu. Tomat yang tersenyum.

“Apa ini? Gantungan kunci? Tomat?” Falya tidak pandai berbohong, terutama pada hal yang penuh kejutan seperti ini. Mimik mukanya melukiskan dengan jelas, guratan gembira itu terpancar dari sana.

“Iya, tomat. Baca belakangnya, dong.” Audrey membalik gantungan berwarna merah tomat itu.

Perlahan tapi pasti, Falya mengurai kalimat yang terukir tanpa ingin melewatkan satu kata pun, “Salam Tomat, Toaudreymat.”ia terkikik geli, “Apa itu Toaudreymat?”

“To-audrey-mat. Audrey yang mulai membuka hati untuk tomat.”

Seketika raut wajah di depan Audrey berbinar. Audrey buru-buru menyambung dengan senyum usil, “Belum diketahui kapan saat itu tiba.”

Falya memukul Audrey perlahan dengan kepalan tangan mungilnya, diselingi bibirnya yang setengah manyun. “Ehm, tapi, anyway, ini bagus banget. Makasih banyak Toaudreymat -aduh susah sekali namamu.”Dan tawa Falya lepas. Mengusap-usap riang gantungan kuci yang sekarang sedang tersenyum untuknya itu. Seketika gadis itu memejamkan mata, mendekap gantungan kunci Audrey di tengah dada, dalam genggaman tangannya. “Semoga Toaudreymat segera mencintai tomat.” Bisiknya seperti berdoa.

Audrey kembali mengulum senyum, gadis ini benar-benar istimewa baginya bulan terakhir ini. Selama tiga tahun kuliah, belum pernah ia merasakan tawa sebanyak ini ketika bersama seseorang. “Aku yang harusnya berterimakasih sama kamu. Aku senang luar biasa bisa mengenal sosok seperti kamu. Makasih, Fal…” Segaris senyum tulus berpadu sorot mata tenang tergambar di wajah teduh itu.

Baru kali ini Falya merasakan degupan jantung yang memburu. Pipi bulatnya memanas, merah seperti rebusan tomat. Kikuk, ia balas tersenyum, lalu menunduk. Bertolak belakang dengan keinginannya untuk melongok ke atas, merengkuh awan yang sedang menari-nari, menyimak suara hatinya.

*&^%$#@

SURAT

Diposting oleh naela , Sabtu, 30 Oktober 2010 23.14

Kreeeek. Pintu berderit.

Mata itu menghunjamku ditemani segaris senyum hangat. Sedetik pun tak bisa kulepaskan pandangan dari wajahnya, yang kini berada tepat di depan bola mata. Waktu terhitung maju, namun derap jantungku tidak tergerak untuk berdetak.

“Maaf.” Gerakan sopan tanpa cela mengisyaratkan aturan tata karma yang dikuasainya. Pria itu setengah membungkukkan badan, menatapku. “Bulik1 Darti ada?”

Rupanya ia mencari bulikku.

Kuayunkan tangan ke dalam, mempersilakan pria itu masuk ke sebuah ruangan dengan pernik Jawa dan hiasan kuno. Beberapa wayang terpajang rapi di dinding, ditemani sebohlam lampu klasik dan foto-foto keluarga dengan frame cokelat keemasan yang usang. Ruangan tamu dengan corak tradisional yang memendarkan rasa tenang.

Sudah hampir dua tahun aku tinggal di rumah mungil ini, tepat di tengah sebuah perumahan sederhana yang berada di kawasan Keraton Jogja. Nuansa yang asri dan penuh etnik, dengan segudang keramah-tamahan penduduknya yang sekali pun tidak pernah absen memanggil namaku dan berucap permisi ketika berpapasan di jalan. Nyaris tanpa kerusuhan, hidup dalam rasa nyaman, adalah sedikit dari sekian banyak hal yang membuatku cepat beradaptasi setelah kepindahanku dari Jakarta ke kota pelajar ini.

Bergegas aku mengambil beberapa jajanan kue dari dapur dan menyeduh secangkir teh hangat untuk tamu bulik ini, sesosok laki-laki yang sekiranya berumur 20 tahun, tak lebih jauh dariku. Ketika aku kembali, kudapati ia masih berdiri di depan pintu, tak mengambil tempat duduk.

Aku mengernyitkan dahi. Setelah meletakkan jamuan itu di meja, aku menunjuk kursi tamu yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Pria itu meringis, “Duduk?” ia balik bertanya, memastikan. Pria itu menatapku dengan sorot mata sangat bening.

Senyumku menguar. Aku mengangguk.

“Aaaahh.. terimakasih.” Ia segera meletakkan tubuhnya kemudian membalas sesungging senyum untukku.

Kupersilakan ia mencoba hidangan yang kuberikan dengan ayunan tangan lagi.

Dia seolah mengerti. “Kamu memintaku untuk minum dan… makan?” lalu senyumnya kembali melebar ketika mendapatiku mengacungkan jempol, membenarkan. Tanpa basa-basi, tangan kekar itu mencomot satu buah gethuk2 dan melahap cepat. “Enak!” serunya padaku. Tawa renyahnya tak bisa disembunyikan.

“Ah ya,” pria itu segera mengarahkan tangannya padaku setelah membersihkan tangannya dengan tissue, “Namaku Radith.”

Aku membalas salamnya tanpa satu patah kata pun terlontar dari bibirku. Senyumku pada Radith terus melekat tanpa mau kutanggalkan. Sudah hampir dua tahun sejak kejadian itu, hampir seluruh jiwa dan semangatku terenggut. Kematian kedua orangtuaku. Akhir dari segalanya. Paling tidak sebelum aku tinggal di rumah bulik dan menemukan kasih sayang lagi. Setidaknya aku tahu masih ada orang yang mau menerima segenap kekurangan fisikku ini, kelemahan yang sering membuatku berada dalam negeri terasing tanpa suara-suara dan interaksi.

Tanpa kuduga, Radith mengeluarkan secarik kertas dengan ukuran agak besar. Pria itu melipatnya beberapa kali sampai ukurannya hanya sebesar notes kecil. Ia menyerahkan padaku, “Kalau kamu lebih suka menulis, tulis saja nama kamu di situ.”

Aku terperangah. Unik! Bahkan dia tidak merasa rikuh dengan keadaanku.

Melihat keraguanku, ia melakukan hal yang sama dua kali dengan mengambil secarik kertas lagi. “Baiklah. Kalau begitu aku akan menemani kamu. Yuk, mulai sekarang, kita berbicara lewat tulisan, dan surat.” Tegasnya yakin. Matanya berbinar, sedikit pun tidak mengisyaratkan kerikuhan dan ejekan.

Bibirku tak sanggup tertahan lebih lama untuk tertarik ke samping. Kuambil pena yang ia siapkan juga, lantas bersiap menggoreskan kata. Kulirik pria yang melongok penuh rasa penasaran ke arah kertas yang siap kutulis. Ketika kupergoki, ia berpura-pura melihat ke arah lampu yang berada di atas. Aku terkikik tak bersuara.

Sarah.

Kuajukan kertas itu padanya, memberitahu.

“Namamu bagus, Sarah.”

Tak ada yang merespon lebih selain pacu jantungku yang berlari seperti kuda-kuda di arena pertandingan.

Sejak ucapan itu tertera dari bibirnya, impian dan semangatku kembali terbuka. Radith, yang ternyata adalah murid kesayangan Bulik Darti semasa beliau masih mengajar di SMA tiga tahun lalu, sengaja berkunjung untuk mengantarkan undangan pernikahan salah seorang teman SMA-nya yang akan menikah saat itu. Namun, kedekatan kami membuatnya datang lebih sering, apalagi setelah bulik memperkenalkan kami ketika beliau tiba kemudian. Awalnya aku merasa ini hal wajar karena bulik selalu seperti itu, meminta murid-muridnya datang lebih sering dengan harapan akan menjalin pertemanan denganku. Namun, hatiku sering menolak. Aku tidak suka dianggap sebagai sosok yang perlu dikasihani. Trauma membuatku seperti ini, tapi tak ada secuil pun anggota tubuhku yang mengisyaratkan aku cacat.

Sehingga Radith adalah orang pertama dan satu-satunya yang jauh lebih memahami sosokku daripada siapa pun.

*&^%$#@

Aku dan Radith telah berteman empat tahun. Kami bukan lagi seperti anak remaja akhir yang masih sering bertengkar karena hal sepele. Kali ini dia, dan aku, sering membicarakan hal-hal kecil, terutama tentang cita-cita. Sejak dua tahun aku berhenti sekolah karena rasa malu, kini aku memperoleh harapan baru. Aku mulai mau belajar, biar pun itu jauh dari akademis. Aku belajar menjahit dan membatik, kelak ingin menjadi seorang yang ahli membuat batik, dan menjadi duta batik, semua tentang pelestarian batik. Sedangkan Radith memiliki impian jauh lebih tinggi. Ia ingin menjadi seorang ekonom handal yang diakui dunia, dengan penemuan-penemuan baru yang kelak dapat mengubah nasib bangsa.

Kami bermimpi dan sesekali mengkhayal dalam dunia kami. Dalam duniaku yang perlahan ia masuki. Surat-surat itu memang menciptakan diam di antara kami, tapi dunia kami ada. Dunia kami bicara. Kami mendengarkan, kami membangunnya, dan kami jugalah yang menikmatinya.

Kamu gila, hei, Cantik. Aku sudah dua puluh empat tahun dan dua bulan lagi diwisuda! Masa kamu masih menyuruhku menyanyi untukmu? Lagu anak-anak pula!

Aku tertawa tanpa suara. Radith di hadapanku memanyunkan bibir, berusaha protes, dengan gusar ia tulis kata-kata itu. Sebuah gitar berada dalam pangkuannya usai menyanyikan lagu-lagu dangdut kacau ala pengamen pasar beberapa saat lalu.

Kukatupkan kedua tanganku ke tengah, dengan tatapan memohon aku merujuknya. Berulang kali kurayu, kuminta dia untuk menyanyikan lagu anak-anak dengan suara setinggi mungkin.

Baiklah. Tapi syaratnya, kamu harus mendengarkan setiap perkataanku setelah aku menyanyikan permintaan bodohmu, tanpa sekalipun berkata TIDAK.

Aku memutar bola mata lantas mengangguk setuju. Kami berada dalam suasana ceria dan penuh nuansa yang menggembirakan. Aku selalu merasa lepas dekatnya. Seseorang yang mengerti tanpa sedikit pun menyinggung kekuranganku, kebisuanku. Ia mengerti duniaku, dan berusaha memasukinya, tanpa sedikit pun merusak, tanpa segaris pun memberi batas. Ia membuka pikiran dan ekspresiku. Radith hampir segalanya bagiku sejak aku mengenalnya.

“Balonku tinggal empat. Kupegang erat-erat!” Manuver petikan dan gitar itu terselesaikan dengan baik olehnya. Kami bertepuk tangan, menandakan pertunjukan gitar hari itu telah usai. Kami sering seperti ini, baisanya selepas Radith kuliah dan aku selesai belajar batik di tempat les yang tak jauh dari Keraton.

Tiba-tiba sosok itu terdiam. Pelan ia meletakkan gitar, getaran tawanya memudar. Ada yang janggal. Sesuatu yang ingin ia ucapkan dan ia ingin muntahkan, sejak dari tertahan karena aku. Radith menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, ragu dan penuh kekhawatiran.

Wajahku kupapaskan di depan raut muka resahnya, kuangkat alisku, bertanya. Laki-laki itu mengerti. Setelah menghela nafas dalam, ia menatapku. Kusodorkan notes dan pena, tapi ia menolak. “Ini tidak bisa kutulis, Sarah. Aku harus mengucapkannya.”

Aku terperanjat. Rasaku tak menentu. Sangat jarang Radith seperti ini. Mendadak pikiran dan hatiku kacau balau.

“Sarah… kamu teringat mimpi kita berdua kan?” ia bertanya padaku. Sorot matanya masuk terlalu dalam, menusuk mataku.

Dengan cepat aku mengangguk.

“Lalu… kamu tahu impian terbesarku kan?”

Kulakukan hal yang sama. Jantungku beradu tak karuan. Ini gila! Ada apa dengan Radith?

“Aku…” ia tak meneruskan kalimatnya. Ada yang membuat tenggorokannya tercekat, menyebabkan rasa sulit padanya untuk berkata padaku. “Aku mendapatkan beasiswa kuliah di Jerman untuk S2 ilmu ekonomi dan… yah, tiga tahun sekolah di sana.”

Sekujur tubuhku lemas saat itu juga. Semua berputar dan bercampur jadi satu. Hatiku berkecamuk, sulit dilukiskan dengan gabungan 28 huruf atau pun rentetan alfabet. Radith akan… pergi?

“Lusa aku pergi.”

Belum sempat aku menyuarakan perasaanku ia sudah lancang menyela. Lusa! Tubuhku seakan tidak berada di tempat. Aku terlampau sulit menerima. Ini di luar batas, Radith bahkan tidak pernah cerita apa-apa! Ah, kali ini aku membenci diriku yang sejak dulu meyakinkan diri bahwa aku tegar. Aku benci bahwa aku, kali ini, memang perlu dikasihani.

Tanpa sedikit pun merespon lagi, aku segera berlari ke dalam kamar. Inderaku luluh lantak, luapan kata-kata Radith barusan sangat mampu menerobos pertahananku, memporak-porandakan kekuatanku yang telah lama kubangun. Ada yang sesak di dalam sini, nyeri, ketika kutekan dadaku perlahan. Aku merasa dikhianati. Aku merasa tak dianggap.

Sepotong surat Radith barusan: tanpa sekalipun berkata TIDAK. Surat bisu dan memang benar-benar tanpa arti. Ia memaksaku untuk menerima keputusannya, dengan mendadak tanpa kupersiapkan. Radith egois.

Sekali lagi, dan selalu seperti ini. Aku terisak dalam kesunyian. Hanya aku yang tahu.

*&^%$#@

Sarah, bagaimana bisa kamu berlari tanpa berjalan terlebih dulu? Kamu harus mulai dari situ, bahkan merangkak sekali pun! Kamu harus bangkit! Apa kamu senang hidup sendirian dan membiarkan waktu merenggut impianmu?

Sarah, lihat langit itu. Kenapa indah? Karena dia melihat ke arah kita. Dia melihatku, dia menatapmu. Dia mengamati setiap orang. Dia melirik seluruh dunia. Dia tinggi, dia cantik, karena dia terbuka. Cobalah kamu berpikir, bagaimana kamu bisa berada di tempat setinggi langit, kalau hanya untuk melihat sekelilingmu saja tidak mau? Ayo bangkit!

Halo Sarah Cantik. Apa kabar? Aku bawakan segenggam cokelat buatmu. Boleh dimakan kok. Asal aku dibagi. Soalnya kalau tidak, aku pasti akan memintamu menukarku dengan bunga! Prinsip ekonomi, bukan? Hahahahaha

Sarah, ingat ini ya, Sarah yang Cantik. Ayo lihat ke depan, jangan lihat ke belakang. Di depan ada jalanmu, di belakang ada penopangmu yang akan memberitahumu kalau ada yang terlewat dan harus diperbaiki lagi. Tenanglah. Aku mau kok jadi penopangmu.

*&^%$#@

Aku melihatnya lagi. Radith. Setelah empat tahun. Sejak sekian lama terakhir kali pertemuan kami, berakhir dengan pintu kamar yang tertutup erat seiring dengan pintu hati yang kututup untuknya. Terengah-engah aku berusaha melupakan semua tentangnya, seiring dengan rasa sakit hatiku yang dalam. Dikhianati dan dibohongi, dilupakan dan dipermainkan. Semua terekam jelas. Beradu dengan memori kami yang begitu lekat terjalin. Berebut di otakku, manakah yang ingin menguasaiku malam ini.

Sudah lama aku tidak menulis dan beradu dengan kata-kata di atas notes kecil, sekedar mengobrol bahkan mencurahkan perasaan. Tidak ada satu orang pun yang berani melakukannya lagi padaku, dan aku pun tidak lagi mau menulis untuk alasan seperti itu. Semua telah tertutup. Aku benci diriku yang sangat perasa, namun sedikit pun aku tak punya kekuatan untuk melawan. Melupakan Radith, hanya itu yang kuteriakkan di seluruh ruang pikiranku.

Kami duduk berhadapan di ruang tamu bercorak tradisional di rumah Bulik Darti. Tepat seperti pertama kali kami bertemu. Tak ada suara. Tentu saja, hening adalah duniaku dan milikku sepenuhnya.

“Minggu depan aku menikah.”

Tajam. Suara itu seperti sengatan listrik yang menyengat segala persarafan dan persendian. Hatiku merasakan sakit yang kedua kalinya. Aku hampir roboh.

Ah, kamu bodoh, Sarah! Sudah empat tahun, mengapa perasaan sukamu padanya belum hilang? Pada laki-laki yang sudah susah payah kau berusaha lupakan!

“Tapi… Maaf, Sarah. Aku baru datang kemari setelah tiba tiga bulan lalu. Aku dan dia, maksudku, dengan calon isteriku, bertemu di Jerman. Kami sama-sama kembali ke Indonesia dan yah… yah…” Ada keraguan di sana untuk melanjutkan. Aku bisa menebak jalan cerita Radith dengan si gadis.

Mataku memanas, entah apa yang menyebabkan cairan itu mulai menggenang. Dengan cepat aku menahan segala mimik yang mengisyaratkan kesedihan. Kamu sudah disakiti, dan akan disakiti lagi.

Radith mengambil sebuah kotak yang berisi entah apa. Tidak dapat kutebak. Ia meletakkannya dengan pelan, tepat di hadapanku.

“Aku benar-benar minta maaf atas semua yang aku lakukan. Sampai sekarang sepertinya kamu masih marah padaku. Aku kehilangan sosokmu, Sarah. Aku…” Radith tercekat. Perlu waktu beberapa menit sampai ia menguasai diri, “Ini beberapa hal yang kusimpan rapi. Semua tentang kamu. Aku rasa aku perlu mengembalikan semuanya padamu. Aku mohon maafkan aku.”

Sedikit pun mimik wajah ketusku tak berubah, sampai Radith pamit dengan perasaan tak menentu. Bisa kurasakan ada kegetiran dari setiap ucapannya. Rasa bersalah, atau apa pun itu. Aku ingin memaafkannya, namun pahit dan kesedihan selama empat tahun bukanlah waktu singkat untuk begitu saja dihapus. Perlahan, aku membuka kotak yang ia berikan padaku, beberapa saat setelah kepergiannya.

*&^%$#@

Aku pernah mengalami ini. Untuk kedua kali. Berada di dalam kamar dengan pintu terkunci rapat, terisak sendirian tanpa suara. Hanya hening dan perih yang bisa kurasakan. Derai air mata terus bergulir di pipiku, sama sekali tak menyisakan kekuatan untuk tetap tegak.

Kertas-kertas itu berserakan. Memenuhi segala ruangan. Potongan-potongan notes dan diari kecil Radith yang ia berikan padaku beberapa jam yang lalu, tersebar dengan sempurna ke segala penjuru. Tak sedikit pun menyisakan ruang kosong untuk bergerak dan mengutarakan kesedihan lagi.

Semua sudah sesak. Tiap rentetan kata yang terpagut di sana hanya menyisakan segudang penyesalan. Tidak berujung, dan tidak terselesaikan.

Aku ingin sekali menariknya ke kehidupanku. Sarah seperti sosok yang harus kulindungi, dan tidak akan pernah kulepaskan, kecuali dia sendiri yang memintaku melakukannya.

Bagaimana caraku mengatakannya? Aku harus pergi! Namun perasaanku masih kalut. Aku tidak mungkin bilang aku suka padanya!

Baiklah, aku harus bertekad! Aku akan memintanya untuk menungguku kembali dari Jerman. TIDAK BISA TIDAK. ‘Sarah, kau harus ikut aku, tanpa sekalipun berkata TIDAK’ Ahaaa, itu sangat tepat! Tapi bagaimana ini, aku terkena sindrom gelagapan-menyatakan-cinta-pada-wanita!

Dia marah. Ya, dia marah. Dia marah. Ya, dia marah. Sarah marah. Sarah membencimu, Radithya Harnanto. Sarah membencimu karena kamu tidak jujur. Kamu seenaknya. Kamu tidak meminta izinnya. Kamu egois, kamu tidak memikirkan perasaan dia!

Sarahku, sudah cukup terpukul dengan keadaannya. Lalu apa yang kulakukan? Menyakitinya! Pergi ke neraka saja kamu, Radith!

Kali ini aku harus pergi. Ke Jerman. Aku sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku sangat sedih dan benar-benar terpukul. Aku gagal. Aku tidak bisa mengungkapkan perasaan sukaku pada Sarah. Apalagi memintanya menungguku!

Suara isakanku perlahan terdengar, jauh, jauh sekali di lubuk hatiku. Menyisakan mendung di luarnya, mengatakan lagi padaku bahwa memang hanya sunyi yang kali ini mengerti aku.

Ruangan itu kini terbuka, seperti baru. Seluruh tempat yang ada di tubuhku, pikiran maupun hati. Mempersilakan wajah Radith dan semua kenangan tentangnya menyeruak masuk tanpa permisi. Mengisinya sampai sudut, lantas menggedor-gedor pertahananku. Runtuh dan goyah. Empat tahun sia-sia, tanpa sedikit pun kata terbuka. Bagaimana aku bisa seperti langit kalau hanya memandang sekeliling tidak sanggup?

Diam kembali menjadi sahabatku.

Nun jauh di suatu tempat di bawah sana, di sebuah bilik kecil tak terjamah lagi oleh jemari tanganku, terdengar bunyi goresan pena. Mengisi sunyi, membuat hening tak berkutik.

Aku dan Radith.

Maafkan aku.

Totomatoto #1

Diposting oleh naela , Rabu, 18 Agustus 2010 21.21

Ini adalah sebuah novelet sederhana. Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca. Kritik dan saran akan sangat membantu :)



Jakarta, Agustus 2009.

Langit mengelabu dengan gumpalan awan berderak yang mengisyaratkan mendung. Sore setengah dingin di Jakarta hari itu menggamit kenyamanan tersendiri ketika matahari bergulir malu-malu ke ufuk barat, menyisakan sinarnya yang lembut. Teriknya tergantikan oleh semilir angin yang berdesir halus di sosok mungil berambut hitam sebahu yang tergerai itu. Falya tengah mengaduk spaghetti fetuccini dagingnya dengan enggan di Pastaza, sebuah restoran pasta yang ada di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Mata bulat jernihnya menatap kosong pesanannya yang hampir menjadi adonan setelah satu jam hanya ditumbuknya dengan sendok.

Memorinya mencuat seketika, mengajaknya berkelana ke lima tahun lalu. Sebuah kenangan lama yang ingin ia enyahkan telah tergambar jelas sekarang. Sekuat jiwanya, Falya berusaha menghancurkan bongkahan yang masih tersimpan rapi di sudut hati dan pikirannya. Namun, bukannya berserak, bongkahan itu malah membesar ketika ia berusaha mematahkannya.

Kali ini ia beringsut, sorot matanya jatuh pada sesuatu yang sekarang telah melingkar di jari manis kirinya. Sebuah simbol tak terbantahkan bahwa ia telah dimiliki sebagian, oleh seseorang yang mencintainya, dan ia pilih. Nafasnya terhela panjang ketika ia mengusap lembut cincin emas berhiaskan kupu-kupu mungil itu. Waktu terasa begitu lambat baginya, ingatan itu semakin kuat dan melesak keluar.

*&^%$#@

Kereta Api Taksaka, Juli 2005.

Sudah satu jam kereta meninggalkan Jogja dan melenggang ke Kutoarjo. Sekali lagi Falya berharap bangku di sebelahnya akan tetap kosong sampai tiba di Gambir nanti. Ia masih ingin merenung, menyatu dengan hamparan sawah hijau yang terbentang di jendela. Keputusannya untuk kuliah dan hidup mandiri di Jakarta masih menyisakan sedikit penyesalan. Segenap pertanyaan seputar pertahanan dan kekuatan menggelayutinya.

Kereta berhenti. Harapan Falya terhempas ketika sosok laki-laki jangkung hinggap di bangku sebelahnya. Diam kembali mengambil alih.

Waktu bergulir cepat ketika jam menunjukkan pukul dua belas siang. Tangan kecilnya merogoh Tupperware orange yang ada di dalam ransel merahnya, berharap gemericik perutnya berhenti. Gadis mungil itu membuka meja lipat bangkunya. Satu buah tomat berwarna merah segar ia lahap dengan cepat. Tidak sampai dua menit, ia sudah mengambil tomat kedua.

Laki-laki di sebelahnya melirik sambil mengenyitkan dahi. Satu hal yang terlukis dari mimiknya adalah keanehan. Falya sudah terbiasa dengan tatapan itu. Ia terkikik ketika menangkap pikiran laki-laki itu terbaca, makan tomat dengan lahap tanpa apa pun adalah janggal.

Beberapa saat kemudian, pesanan makanan Audrey, laki-laki itu, datang. Sepiring nasi goreng ayam dengan lalapan di tepiannya. Falya tak berkomentar selain hanya melihat tiga iris tomat di piring putih itu. Tak ada yang bicara selain tatapan mereka yang bertemu sesaat.

Mendadak, gadis kecil berkulit putih itu terusik ketika piring di meja lipat sebelahnya mulai mengkilat bersih, namun menyisakan tiga iris tomat yang sedari tadi ia tangkap. Ini benar-benar mengganggunya. “Kamu tidak suka tomat, ya?”celetuknya spontan.

Audrey menoleh, “Tidak.”

Falya sekilas terlihat ragu, mulutnya sempat terbuka hendak mengatakan sesuatu sampai akhirnya urung. Sedetik kemudian seolah mendapatkan sisa keberanian, ia berujar, “Boleh buat aku?” Falya lega suaranya terdengar wajar, walaupun penuh harap.

Tanpa bersuara, Audrey menyodorkan piringnya. Kerutan di keningya mulai menipis. Sepertinya ia telah memahami sesuatu ketika tanpa basa-basi Falya melahap ketiga irisan itu dalam satu kali suap. “Kamu.. suka sekali tomat?”suara berat itu seakan telah lama ingin memuntahkan pertanyaan ini.

Mata bulat Falya kontan melebar, bening. Ketika irisan itu resmi tertelan, Falya berkata dengan sesungging senyum lebar, “Sangat!” kemudian ia balas bertanya, “Kamu tidak suka?”

Audrey mengangguk. “Karena rasanya asam.”

Falya tergelak. “Justru aku suka tomat karena rasanya asam. Menurutku, aneh sekali kalau ada orang yang tidak suka tomat. Asamnya cuma ada satu di dunia ini, asam tomat ala tomat.” Dan tawa Falya kembali berlanjut.

Orang di sebelahnya kali ini tersenyum simpul.

“Mengapa sih kamu tidak suka?” Seperti petasan, Falya dapat meledak dan terlalu bersemangat ketika sudah ada yang memicunya.

Audrey berpikir sejenak, “Rasa tidak sukaku pada tomat seperti.. yah, ketika kamu diminta membersihkan kandang kambing yang bau. Tanpa berpikir dua kali, pasti kamu tidak suka.”

Falya terdiam, tak menunjukkan respons setuju. “Tidak juga.” Falya meneruskan kalimat dengan serius ketika laki-laki itu mengangkat alis, menunggu kelanjutannya, “Aku sering diminta membersihkan kandang kambing di Klaten, desa pamanku. Aku senang, tidak protes, kok.”

Tiba-tiba Audrey tertawa keras, tergelitik luar biasa pada ungkapan gadis mungil ini. Saat tawanya mereda, ia mendapati Falya kebingungan menatapnya, “Kamu cewek pertama yang aku kenal, yang memiliki hobi membersihkan kandang kambing.”ucapnya masih terkikik.

Raut bingung itu berangsur memudar. Falya meringis lucu, “Tidak juga, sih. Tidak hobi, hanya sebatas mau dan tak terbebani saja.” Ekspresi Falya mendadak berubah, dengan sedikit tajam ia tatap laki-laki di sebelahnya, “Hal yang paling tidak kusukai adalah melihat orang membuang tomat segar.”

Cowok itu terbahak lagi, kali ini Falya menangkap sejumput lesung pipit menghiasi pipi tirus itu. “Baiklah, baik. Aku minta maaf.”

Falya terdiam, berpikir sejenak. Ia mengangkat telapak tangannya seperti polisi yang ingin memberhentikan kendaraan, kemudian bertutur tegas, “Tunggu sebentar.”

Tak sampai lima detik, sebuah tomat merah segar keluar lagi dari Tupperware orange itu. Kali ini ada potongan bulat kecil wortel yang tertempel dua buah, masing-masing di bagian kanan dan kiri salah satu sisi tomat, tampak seperti kedua mata. Lebih ke bawah agak ke tengah, terdapat potongan timun melengkung seperti goresan bibir yang tersenyum. Kening laki-laki itu semakin menyatu, mulutnya setengah terbuka, bingung menerka-nerka.

“Ini Totomato, Raja Tomat hari ini yang masih mengemban misi mulia.”celetuk Falya ceria, menghadapkan ‘wajah tersenyum’ Totomato ke arah Audrey. “Kalau mau minta maaf, lebih baik ke Totomato. Karena gara-gara ketidaksukaanmu pada tomat, para tomat terhambat menjalankan misi mulianya.”

Audrey tertawa kecil, gadis ini lucu sekali baginya. Sangat acak dan terduga, padahal baru beberapa menit yang lalu mereka bertegur sapa. “Memangnya apa misi mulianya?”

“Disantap oleh manusia dalam kondisi segar.”

Tawa Audrey beganti menjadi gumaman tanda mengerti. “Kalau gagal?”

“Tunggu saja kehadiran Totomato dan pasukannya di mimpimu. Mereka akan menghantuimu.” Ujar Falya ringan, setengah tersenyum. Ia merasa senang ketika Audrey meladeni setiap celotehannya mengenai tomat karena tidak semua orang akan menanggapinya. Cukup dengan kata ‘apaan sih,Faaaaall?’ atau ‘Udah deh, jangan mulai aneh, Fal’ yang selalu terlontar dari orang-orang di sekitarnya, Falya langsung bungkam.

“Baiklah kalau begitu, aku akan menunggunya di mimpiku mulai malam ini.”

Giliran tawa Falya yang pecah. Laki-laki ini lain. Dia tidak menganggapku aneh, ajaib.

Halo, Universitas Indonesia!

Diposting oleh naela 20.49

Dulu aku berkerah putih
berpadu juntai rok abu-abu
Berjalan sedikit tertatih
mencari persimpangan satu
pilihan alurku

Selamat datang di Universitas Indonesia!

Seragamku menguning
Makaraku menghijau
lonceng semangatku berdenting
rintik banggaku guyur kemarau

Langkahku tersendat penat
Erat kerap menyayat
Sulit, ya, rumit
sering aku terjerembab sakit
demi jas putih, anganku lambat terakit

ilmu terpasang
ramah-tamah terbentang
senyum mereka terkembang
masyarakat tunggu kami datang

Selamat datang di dunia medis, kedokteran!
Selamat datang penerus Aesculapius!



Jakarta, Agustus 2010
"Selamat datang adik-adikku 2010" :D

Amarah Mencabik Luka

Diposting oleh naela 20.46

Amarah mencabik luka
Deru cemburu menerjang, membabi buta
Menjilat, meradang jauh ke ampela
“Dia punyaku!”
Gertakku menggema, pun tertelan huru-hara

Kunyalangkan sorotan setan
Kulemparkan libasan makian
Kuhempaskan tangisan, untuk kesekian
Dan wanita itu terkungkung ketakutan

“Kamu dan aku sudah tamat.”
Kau buyarkan asa impian berdua
Kau gadaikan serpihan mimpi bersama
Dan getas pun menggempur sukma
Derak hatiku meronta
Kau tega!

“Hentikanlah.”
Rasaku ambruk
Hancur terpuruk
Busur-busur lidahmu memanahku
Nyeri!
“Aku sayang wanita ini. Bukan kau lagi.”

Kejamnya Jakarta, Malangnya Saya

Diposting oleh naela , Jumat, 30 Juli 2010 04.19

Ini pengalaman kesekian di Jakarta yang membuat saya kembali mengelus dada. Berusaha menyambut kesabaran yang hadir ketika tangan saya sampai ke kulit, masuk ke hati saya. Saya (kali ini agak mendadak) berencana pulang ke kampung halaman di Jogja. Karena baru terpikirkan hari itu (Kamis, 28 Juli 2010), maka mau tidak mau, saya bertekad pulang dengan kereta. Gambir menjadi tujuan utama hari itu.


Pukul sebelas saya beranjak dari kost langsung menuju Gambir dengan bajaj. Sampai disana, antrian sepi. Saya buru-buru mengambil formulir, meminjam pena dari calon penumpang lain (saya benar-benar tanpa persiapan), dan menuju loket pembelian karcis Taksaka, kereta eksekutif tujuan akhir Jogja.

"Tiketnya sudah habis, Mbak."ujar petugas kepada saya.

Kaget, saya kembali bertanya, "Kalau pakai Argo Lawu?" Argo Lawu adalah kereta eksekutif tujuan akhir Solo, dan berhenti di Stasiun Tugu Jogja.

"Harus pesan untuk dua kursi."

Tubuh saya melemas. Ini hari Kamis, biasanya Gambir penuh ketika hari Jumat menjelang akhir pekan. Terutama untuk tujuan Jogja dan luar Jakarta. Heran sekaligus kesal, saya kembali bertanya, "Jadi, tidak ada kereta lain untuk bisa pulang?"

"Ada."sang petugas berucap, "Gerbong Taksaka tambahan, loketnya buka nanti jam dua siang."

Melihat jam tangan di handphone, saya mengangguk. Tiga jam lagi. Maka saya pun berlalu.

Penantian demi sebuah tiket Taksaka baru dimulai. Tiga jam di Gambir ditemani Kompas dan berhenti sejenak untuk sholat dan ke toilet, membuat saya mati bosan. Bayang-bayang kenyamanan kamar kost-an bertarung dengan keinginan untuk pulang, sebelum liburan saya habis.

Pukul dua. Saya menuju loket kembali.

"Gerbong Taksaka tambahan untuk pemberangkatan malam ini dibukanya baru nanti jam 7 malam. Diundur." Suara petugas itu membuat sirine kemarahan di telinga berdengung-dengung. Rutukan menggema di hati saya. Sial!

Maka saya pun memutuskan untuk pulang ke kost. Sebelumnya saya bertemu dengan penumpang lain, orang Jogja juga, yang menyarankan saya untuk membeli Gajayana dan Bima (tujuan akhir Malang), namun saya memilih tidak karena harga tiketnya lebih mahal daripada pesawat promo. Di jalan, saya bertemu mobil SBY (yang ini kalimat sumbang, hahahaha xp).

Akhirnya, berhubung saat itu saya puasa, maka saya memilih untuk leyeh-leyeh di kost-an sambil menunggu adzan. Saya menggoreng sosis untuk buka puasa, memasukkannya ke dalam tupperware, menyiapkan minum, dan packing. Saya siap untuk berjuang demi tiket Taksaka lagi jam 7 malam nanti. Akhirnya, setelah selesai sholat maghrib dan berbuka, saya diantar Mas Gito (penjaga kost-an), berangkat (lagi) ke Gambir.

Sampai di Gambir dan tiba di tempat pembelian karcis, saya terbelalak. Ini luar biasa! Antrian di depan loket Taksaka sudah hampir sampai ke depan deretan pertokoan dan restoran, seperti ular, sangaaat panjaaaaaang. Gila! saat itu pukul setengah 7 malam, dan belakangan saya baru tahu kalau gerbong tambahan Taksaka untuk malam itu hanya diperuntukkan bagi 50 orang. Luluh lantak harapan saya untuk pulang. Benar saja, tidak sampai sepuluh menit setelah loket buka, tiket ludes.

Tiba-tiba, petugas berbaju setengah polisi dari Gambir berseru kepada penumpang yang masih mengantri tanpa nasib jelas seperti saya, "Tiket Taksaka, yang mau beli langsung naik ke peron 3 dan 4. Cepat!"

Sontak, saya berlari menuju tempat peron melewati tangga-tangga Gambir. Eskalator tidak saya indahkan. Bagaikan diburu angin dan dengan perasaan kalut, tekad saya malam itu adalah harus pulang bagaimanapun caranya. Sudah sejauh ini, sayang kalau setengah-setengah.

Ternyata, benar. Memang ada tiket untuk Taksaka, bahkan untuk Argo Lawu. Tapi... tanpa tempat duduk!

Okay. Saya hampir menyerah sampai akhirnya bertemu dengan seorang mbak yang bekerja di perusahaan farmasi yang ada di kawasan Bintaro, Mbak Uun namanya. Ia mengajak saya untuk nekat, karena kepalang tanggung sudah di Gambir dan telah bersiap dengan segala bawaan. Keringat sudah mengucur, pikiran dipenuhi tiket kereta dan tiket kereta. Akhirnya, saya mengangguk. Hati sempat bergumul, bagaimana kalau orangtua saya tahu? Kekhawatiran ibu terdengar jelas, omelan beliau juga, yang semua demi kebaikan saya. Namun, hei, kamu hampir 4 jam ada di stasiun ini, Naela, kenapa ragu? Sekalian saja, tuntaskan! Ada sesuatu yang berteriak di kepala saya untuk menjalani semua ini.

Akhirnya, saya setuju saja untuk pulang dengan kondisi tidak jelas, situasi yang tidak pernah terbayangkan oleh saya. Padahal, tiket tanpa tempat duduk ini sama harganya dengan tiket dengan tempat duduk.

Perjuangan untuk pulang dimulai ketika saya dan Mbak Uun memutuskan membeli Taksaka. Kami menunggu kereta di bangku yang ada di samping peron 4. Saya mengunyah masakan yang saya bawa di tupperware, berusaha melupakan dan tak mau ambil pikir apa yang akan terjadi nanti. Sampai akhirnya, seorang mas-mas yang bekerja di Argo Lawu menawarkan saya dan Mbak Uun untuk ikut saja naik kereta itu, karena datangnya lebih cepat dari Taksaka. Kami pun mengiyakan. Saya seperti kehilangan akal, bagaimana kalau malam ini saya kenapa-kenapa? bagaimana kalau di kereta saya seperti gelandangan?

Kereta Argo Lawu datang, saya naik. Saat itu pukul delapan malam.

Pernyataan saya sebelumnya bahwa saya kenapa-kenapa bisa salah bisa tidak. Tapi pernyataan bahwa saya seperti gelandangan adalah benar. Saya dapat merasakan nyamannya duduk di kursi penumpang hanya selama tiga jam, dari Jakarta sampai stasiun Cirebon, sebelum penumpang yang 'sebenarnya' (yang mendapatkan tiket duduk) masuk gerbong. Selebihnya, saya duduk di lantai yang ada di bagian paling belakang kursi penumpang, entah ada di gerbong berapa.

Beralaskan kertas koran, menggunakan jaket angkatan untuk menahan semilir AC yang menusuk, saya berusaha tidur. Alas kereta yang keras membuat tulang-tulang protes, saraf pun memberi sinyal nyeri. Hampir enam jam, saya berusaha setengah mati untuk terpejam dengan posisi duduk di bawah, kepala bersandar pada tiang penyangga, tas di depan kedua kaki, dengan doa agar semua saya lalui tanpa terasa. Mata saya berkaca-kaca. Perasan seharusnya semua ini tidak terjadi menyerbu. Ini gila. Tidak waras. Saya cewek, saya sendirian, saya di Jakarta, saya tidak kenal siapa-siapa. Di saat seperti itu, tiba-tiba saya berpikir bahwa bukan situasilah yang gila, tapi saya.

Sampai akhirnya, alhamdulillah, pukul setengah lima kurang sepuluh menit saya tiba di Stasiun Tugu Jogja. Menghirup udara pagi yang segar, saya lemaskan otot-otot saya. Bersandar di emperan kursi stasiun memanjakan tulang-tulang belakang saya yang sempat mengaduh. Sambil menunggu ibu (yang sampai sekarang tidak tahu bahwa saya pulang dengan kondisi mengenaskan) menjemput, saya sesekali mengobrol dengan Mbak Uun. Selebihnya, kami berada dalam diam dan pikiran masing-masing. Momen di dalam kereta tanpa tempat duduk, dikasihani banyak penumpang yang menawarkan selimut, membantu memberikan tempat untuk tidur, masih jelas membekas.

Yang perlu saya tekankan dari cerita saya adalah, kalau di tempat lain waktu dihitung maju, di Jakarta itu tidak berlaku. Waktu dihitung mundur. Kalau jam delapan kita memiliki kegiatan untuk beraktivitas, paling tidak jam enam kita harus bersiap. Kalau hari Kamis ini kita berniat untuk pergi ke luar Jakarta, paling tidak dua minggu sebelumnya sudah memesan tiket.

Semoga ini menjadi pelajaran untuk kita semua. Katakan tidak untuk kata 'mendadak' :)

Pekarangan Belakang Rumahku

Diposting oleh naela 04.08

Ini masih merupakan cerpen yang saya buat dua tahun lalu, ketika kelas dua SMA :D


Hari ini aku tiba di sebuah rumah bercat putih antik yang ada di pinggiran Jogja. Rumah itu mempunyai pekarangan belakang yang sangat luas, juga rerumputan hijau yang indah. Aku pindah ke rumah di Jalan Kenangan 13 ini sejak orangtuaku dipindahtugaskan dari Jakarta. Tak ada siapa-siapa selain aku ketika mereka bekerja. Aku satu-satunya anak mereka, tak ada pembantu, bahkan tak ada teman bermain.

“Dava!”

“Ya, Ma!” Segera kututup diari usang yang kutemukan seminggu yang lalu di bawah anak tangga, tepatnya di dalam sebuah rak berdebu yang tak terurus, tepat ketika aku dan mama membersihkan rumah yang baru kutempati ini.

Mama tengah bersiap pergi. Berbalut pakaian lengkap, rambut tergelung sempurna, make up minimalis yang cantik, ia mulai beranjak, “Makan siang ada di meja, Sayang. Mama pergi dulu, jangan keluyuran.”

Tak sampai lima detik, Mama pun menghilang dari pandangan. Beberapa saat kemudian, deru mobil yang kian menjauh membuatku kembali ke diriku, dan kesepian itu menyergap cepat. Hari itu hari Minggu, namun mama masih saja bekerja.

Sudah lima tahun sejak kematian papa, aku dan mama hidup berdua. Berbekal penghasilan mama sebagai pegawai bank, hidup kami sudah lebih dari cukup. Bahkan, di usiaku yang beranjak 13, mama masih mampu memenuhi segala yang kuinginkan, mulai dari sekolah, sampai playstation. Kami hidup dalam aman, walaupun belaian mama lambat laun berkurang, karena kesibukannya mendua, memadu kasih dengan pekerjaan. Ah, aku rindu kecupan Mama…

Kubuka kembali diari usang itu, dan rentetan huruf yang menyambutku masih kurasa hidup. Diari seseorang yang pernah tinggal di rumah ini, dulu, entah kapan. Hurufnya mulai rapi, walaupun tak secantik tulisan mama, dan tak seburuk tulisan bocah cowok seusiaku. Kutelaah lagi barisan kata-kata yang tercetak di sana.

Rasa sepiku selalu membuatku murung, aku rindu mama dan papa. Tak ada mereka, tak ada teman pula. Sedih sekali. Namun, pekarangan belakang itu, ah, hatiku tiba-tiba berdesir bahagia. Rasa suka yang belum pernah kurasakan. Rasanya… aku menemukan surga.

“Dava…”

Aku terenyak. Sebuah suara. Memikat. Riang.

“Ayo bermain. Kemarilah, cepat!”

Suara seorang bocah!

Aku tergeragap. Bergegas kujelajahi seisi rumah, dan tak menemukan siapa-siapa di sana. Semua kamar dan ruangan kugeledah, tak kudapati seorang pun di dalamnya. Suara itu memanggil lagi, kali ini begitu dekat, dan pekat, sangat jelas. Kubuka pintu depan, masih nihil. Segera aku berlari ke dapur, menuju sebuah pintu yang terletak di sudut ruang, pintu menuju pekarangan belakang, yang luas dan hijau. Kutekan handle, dan pemandangan di depanku membuatku ternganga.

Betapa terkesiapnya aku. Seorang gadis tengah tersenyum padaku, begitu damai, menyisir kegalauanku, seketika menghapus resah. Ia melambai padaku, dengan seberkas cahaya di sorot matanya, dan aura cerah yang mengesankan. Gadis mungil itu mungkin berusia lebih muda dariku dua sampai tiga tahun, berbalut terusan berwarna pink lembut yang cantik, dan rambut tergerai sempurna.

“Dava, ayo bermain!”

Aku mendekat. Hatiku bergejolak, bagai menyentuh sebuah impian, desir itu mengalir gembira, mengalun tenteram. “Siapa kamu?”

“Aku temanmu. Ayo, bermain!”

“Teman?”

“Tentu saja.”Gadis cilik itu tersenyum, membuat aliran darahku bertambah deras. “Dava, kita teman!”

“Kau… Tapi, siapa kau?”

Kan sudah kubilang, aku ini temanmu. Aku tinggal di dekat sini. Ayo, bermain!”Gadis itu menarik tanganku, menggegamnya hangat, lalu menuntunku berjalan pelan.

Kutatap sekali lagi gadis yang kutemui ini. Ah, manisnya… Setiap ucapannya selalu mampu membuatku lupa akan hening, memaksaku berhenti memikirkan mama yang meninggalkanku. Bibirnya yang tak pernah usai mengurai senyum, melunakkan tubuhku agar bergerak dalam tenang, menyulap lubuk hatiku untuk tunduk, menyihir perasaanku yang kalut. Bintang-bintang seakan bertebaran di dalam sini, memberiku warna baru.

Belum pernah aku merasa seperti ini…

“Dava, ayo kejar aku!”

Aku tertegun.

“Ayo, kejar aku! Kalau kau berhasil menangkapku, kau akan kuberi sesuatu.”

“Apa?”

Gadis itu memandangku, melempar rasa penasaran padaku, “Kejar aku!”

Tak ada yang dapat menahanku, untuk membendung rasa sukaku padanya, pada gadis cilik yang rupawan itu. Memikat, seakan raga dan jiwaku tak mau terlepas padanya.

Kami berlari dalam tawa, dalam derai-derai suara geli dan pekikan manja. Aku tersedot pada pesona, pada ceria, dan pada gempita jelita gadis itu. Udara mememendarkan jeritan bahagia kami berdua, membimbingku menuju sebuah rantai, yang mengikatku dan dia. Ah, aku tak ingin lepas darinya, dari gadis ini.

*&^%$#@*

Surga itu kutemui ketika sepi menyelimutiku, ketika mama dan papa tak ada di rumah. Surga itu selalu ada untukku, surga di pekarangan belakang rumah. Surga yang penuh bintang bertaburan walaupun siang masih terjelang. Ah, aku cinta rasa ini, ingin terus seperti ini, ingin terus berada di surga, tak ingin tersekap sunyi lagi…

Aku terbangun. Kukerjapkan mataku dua kali, dan kutangkap cahaya yang masuk samar-samar. Sinar dari lampu-lampu jalan menerobos, tidak terlalu silau. Kukerjapkan mataku sekali lagi, rupanya sudah malam.

Aku terduduk, kuamati sekeliling, rumput-rumput masih bergoyang tertiup angin dingin. Aku masih berada di pekarangan belakang rumah.

Ketika akan beringsut masuk, kurasakan sesuatu tergenggam, tergeletak di telapak tangan kananku. Kuangkat cepat. Sebuah kalung, berliontin bintang. Ah, aku teringat, gadis itu…

“Ini buatmu, karena kamu berhasil menangkapku.” Gadis itu memberikan kalung itu padaku. Nafasnya terengah, namun aura lembutnya masih tak terpecah. Saat itu kami usai berkejaran.

Rasa girangku bersorak. “Benarkah?”

“Simpan saja. Untukmu. Dariku.”

Dan kini rasaku meluap senang. Sebuah kalung berliontin bintang telah kudapatkan. Segera kukenakan, dan… ah, gadis itu. Aku terngiang-ngiang padanya. Jantungku berdegup, kali ini teratur, penuh irama suka cita.

Kudengar deru mobil mama mendekat. Segera aku bangkit, dan beranjak ke dalam.

*&^%$#@*

“Dava, beli makan siang di supermarket, ya. Mama tak sempat menyiapkan. Jaga diri, Sayang. Mama pulang agak larut.” Telepon di telingaku memperdengarkan suara mama, “PR kamu, sudah dikerjakan, kan?”

Aku mengangguk. “Sudah.” Belum, Ma. Tadi malam aku memikirkan gadis itu.

“Mama sayang kamu, Dava.”

Dan plek. Telepon lantas ditutup dari seberang.

Aku selalu berada di pekarangan belakang, dan surga selalu di sana, selalu ada untukku, menghiburku, dan membelaiku dengan canda. Mama dan papa… Aku telah menemukan surgaku, dan aku tak akan pernah kesepian lagi.

Aku melangkah, mengayunkan kakiku menuju dapur, lantas membuka pintu yang ada di sudut ruangan, dan pekarangan belakang rumah menyambutku. Semilir angin membuatku terhanyut, tergugu dan terpatuk merasakan rasa bahagia itu. Kekesalanku pada mama mendadak hilang, berganti menjadi rasa suka yang meluap.

“Dava! Ayo bermain!”

Aku tergugah. Ah, gadis itu. Dia sudah ada di sini rupanya.

Kugariskan seuntai senyuman, paling tulus yang pernah kulakukan. “Ayo! Kau kukejar?”

“Boleh saja. Ayo, Dava, kita bermain!”

Dan hilanglah sudah penatku. Tak ada lagi sesuatu yang memenuhi benakku, selain rasa senang luar biasa, dan segala yang melekat pada gadis ini. Ia mampu menjelajahi seluruh ruang kosongku, dan menjejalkan dirinya yang molek, tanpa ada spasi sama sekali, barang detik yang berlari sekalipun.

*&^%$#@*

“Dava, nilaimu menurun. Apa yang terjadi?”Mama menatapku, agak berang, bisa kurasakan, “Hari ini Mama dipanggil wali kelasmu. Dan dia bilang, kau tak pernah memperhatikan pelajaran. Kau…katanya kau seperti linglung, kau tak lagi aktif, bahkan kau tak terlihat berkonsentrasi. Apa yang terjadi padamu, Nak?”

Aku terdiam. Tak kutatap mata mama yang menghunjamku. Kugenggam liontin bintang, kutekan, dan kudengar suara tawa seorang gadis. Pikiranku mendadak damai. Ah, aku hanya ingin dengar suaranya…

“Dava! Kau dengar Mama?”

Suara lembut yang bermelodi… cantiknya…

“Dava!” Mama melotot, “Dava! Dengar Mama!”

Ah, gertakan Mama samar sekali. Tapi, suara gadis ini, menghipnotisku total, tanpa celah.

“Dava!”Mama beringsut, mengangkat wajahku, sedikit keras, “Kau kenapa? Dava!”

“Y-ya, Ma?”

Mama menghela nafas panjang, “Kau jangan banyak melamun, Dava. Lihat ini! Nilaimu turun drastis! Ini balasan kamu atas perjuangan Mama? Pengorbanan mama banting tulang dari pagi sampai malam?!”

Aku kembali bungkam. Nilaiku memang turun, tapi… ah, itu tak kubutuhkan. Aku hanya butuh sebuah tawa, keceriaan, dari gadis itu, gadis yang sering kujumpai kalau mama tak ada, kalau aku butuh teman.

Dava… Dava… Ayo kejar aku… Dava… Kau suka berteman denganku? Ah, Dava, kita teman…

Suara itu berdengung manis di telingaku, terus-menerus, tanpa jeda, dan tanpa bisa kucegah. Aku tersenyum, ah, gadisku… Manis sekali. Hatiku meloncat cepat, tak sabar bertemu dengan gadis kecil itu.

Aku bangkit, meninggalkan Mama yang masih berteriak mengancam nilai-nilaiku. Sama sekali tak kudengar kecaman itu, sama sekali tak terasuk diriku oleh amarah mama. Dan pekarangan belakang rumah, disanalah kakiku menuju.

*&^%$#@*

Semakin lama, aku semakin tak bisa melepaskan surga. Dia memberiku ikatan kuat, dengan bintang-bintang bersahaja yang menggenggam hatiku padanya. Surgaku, di sanalah aku mengadu. Ah, mama dan papa yang melupakan aku, kini telah berbalik kutinggalkan, jauh-jauh di belakang. Surgaku, cuma surgaku saja yang ada di kepalaku.

“Kau mau ikut denganku, Dava?”Gadis cilik itu membujukku.

“Kemana?”

“Suatu tempat. Hanya kau dan aku, tak ada yang lain.”

Wajahku mendadak cerah. Hanya ada aku dan gadis ini, betapa bahagianya. “Benarkah?”

“Benar. Kau tak akan kesepian lagi.”Ia menguntai senyum. “Kau mau, Dava?”

Aku mengangguk cepat. “Tentu saja, bawa aku. Bawa aku!”

Gadis tadi menggenggam tanganku, “Kau akan bahagia bersamaku.”

“Ah, tentu.”Aku menatapnya, penuh suka, “Siapa namamu, gadis?”

“Nasha.”

Aku pergi dengannya, akhirnya aku lebih memilih surgaku. Kutinggalkan semuanya, aku pergi bersama surgaku. Bisiknya memberiku kekuatan, aku akan selalu bahagia. Namanya nama surga, indah sekali.

*&^%$#@*

“Sudah berapa lama dia begitu?” Seorang pria berjas putih tampak mengamati seorang wanita yang tengah duduk menerawang. Wajah wanita yang mengerut dengan banyak guratan halus itu menandakan usia yang sudah senja, padahal ia baru akan memasuki kepala empat.

“Tiga tahun, Dok.” Sesosok ibu muda menjawab, terdengar pilu.

“Kenapa?”

“Anaknya hilang, sampai sekarang tak ditemukan.”

Sang dokter terperanjat. “Anda siapa?”

“Saya adiknya, Dok. Adik wanita itu.”

Dokter itu cukup memberi satu anggukan paham, lantas memberikan beberapa resep yang sekiranya membantu. “Tidak apa-apa. Tapi… kalau, saya boleh tahu, apakah polisi sudah mencari?”

“Sudah, Dok. Tapi tetap nihil. Tak ada tanda-tanda kepergian. Keponakan saya menghilang, tanpa jejak, seperti langsung ditelan bumi.”

Wanita tua itu menatap lurus ke belakang rumah, ke sebuah pekarangan yang luas dan hijau. Kedua tangannya menggenggam sebuah kalung, berliontin bintang. Bibir dan hatinya tak pernah sekalipun berhenti bergumam, “Dava… Anakku…”

*&^%$#@*

Jauh dari rumah bercat putih dengan pekarangan belakang yang sangat luas, seonggok diari usang terbuka. Angin meniupnya, sedikit kencang, dan halaman terakhir pun terbentang…

Aku ingin punya teman… Aku ingin punya teman… Aku ingin mencari teman menuju sebuah tempat yang hanya ada temanku dan aku… Aku ingin teman menemaniku, menuju padang rumput bahagia… Aku hanya seorang gadis cilik bernama Nasha, yang hari ini, berniat mengakhiri hidup yang semu di dunia, dan sekali lagi, mencari seorang teman…