Di Alun-alun Keraton

Diposting oleh naela , Selasa, 18 Oktober 2011 06.28



Gerigi roda bertautan
menggelinding,
berebut mengitari jalan lingkar
berputar di luar pohon raksasa perkasa,
si kembar beringin tua.

rantai alur sepeda berdecit-decit,
berdesak melewati barisan motor yang tercekit,
di alun-alun keraton Jogja.
di bawah mentari yang malu-malu berirama,
'sampai jumpa esok pagi, manusia!'

dua tangan tergamit
jemari kecilku dan pelukan genggammu
di atas pautan dua sepeda,
lekat,
bercampur tawa rekat,
melengkapi semburat keduanya
terpikat.

sejuk,
ketika terbahak lalu berbaur gelak,
menyatukan gema-gema canda
ceria.

Walau tetes peluh meronta
minta dianggap,
biar dua kaki sejengkal lenyap dari tegap,
di perantara ayunan-ayunan sepeda
yang terikat kuat-kuat.
kau sentak pedal seperti tembakan rudal,

sampai tubuhku terbawamu,
pesat.
mengelilingi rerumputan di atas aspal-aspal,
cepat.

lalu semuanya berubah hangat.



PS: untuk seseorang yang senang mengajakku naik sepeda gandeng ketika sore hari, di alun-alun keraton Jogja :)






Lari

Diposting oleh naela 03.16

Debu menghambur

di bekas telapak yang terjejak,
mengisi spasi
asap udara di tengah jalan raya.
seisak hati yang enggan untuk berbalik.
sekuat tekad untuk mengabur.

Lari saja!

Ya, kalau aku mau mati,
ya, kalau otakku tak memungkiri.
ya, tentu, kalau pikirku tak jatuh ke lumbung memori
mereka.

mereka, yang jemari-jemarinya tak lelah menghimpun selebaran
harta
benda
penyulap sekeping uang papanku, sejumput nasi sarapanku.

mereka, yang tangan-tangannya meraih angin,
memanjatkan doa.
mereka, yang berbisik di gendang telinga,
menampilkan barisan harap, segudang sayang,
mereka, di sana,
pun jauh dari genggam kerlip mata,
terpeluk oleh cintanya.

Lari saja!

Tidak.

Tidak mau.

Lari!

Tidak!

Aku akan tinggal,
tegak pun bergumpal asap
di tengah reruntuhan debu Jakarta,
demi mereka.

aku akan tinggal demi mereka.

demi kasih mereka
pada anak pecundang ini.



PS: Mereka, orang tua kita, pelantun melodi sayang tak terkira :)

Bawah Sadar

Diposting oleh naela , Senin, 17 Oktober 2011 04.31

Huruf berbaris menyatu dalam alinea,
berkata-kata dalam kepala,
'beginilah caranya,' ujar rentetan makna itu.

'ah, iyakah?' tanyaku, terpaku kaku.
tak yakin.
bukan. bukan ini yang kumau, yang kuingat.

'isilah.' mereka mengetuk-ngetuk lekukan lobus memori,
memaksaku menyentakkan jemari,
untuk bertoreh.
berceloteh.

lagi-lagi aku menelusuri,
merangkak dalam girus pencetak warna,
pembukti adanya Sang Pencipta.

'ah, baiklah.'
dan di ujung telunjuk yang bersilang itu aku menulis,
sebuah jawaban di pucuk tautan persoalan.

Sebilah mata pisau di penghujung kebinaran rantai pembelajaran,
yang sering kau sebut ujian.


PS: Mata hati sering berkata apa yang kau lupa, dengan jujur dan tanpa sadar. :)