Kejamnya Jakarta, Malangnya Saya

Diposting oleh naela , Jumat, 30 Juli 2010 04.19

Ini pengalaman kesekian di Jakarta yang membuat saya kembali mengelus dada. Berusaha menyambut kesabaran yang hadir ketika tangan saya sampai ke kulit, masuk ke hati saya. Saya (kali ini agak mendadak) berencana pulang ke kampung halaman di Jogja. Karena baru terpikirkan hari itu (Kamis, 28 Juli 2010), maka mau tidak mau, saya bertekad pulang dengan kereta. Gambir menjadi tujuan utama hari itu.


Pukul sebelas saya beranjak dari kost langsung menuju Gambir dengan bajaj. Sampai disana, antrian sepi. Saya buru-buru mengambil formulir, meminjam pena dari calon penumpang lain (saya benar-benar tanpa persiapan), dan menuju loket pembelian karcis Taksaka, kereta eksekutif tujuan akhir Jogja.

"Tiketnya sudah habis, Mbak."ujar petugas kepada saya.

Kaget, saya kembali bertanya, "Kalau pakai Argo Lawu?" Argo Lawu adalah kereta eksekutif tujuan akhir Solo, dan berhenti di Stasiun Tugu Jogja.

"Harus pesan untuk dua kursi."

Tubuh saya melemas. Ini hari Kamis, biasanya Gambir penuh ketika hari Jumat menjelang akhir pekan. Terutama untuk tujuan Jogja dan luar Jakarta. Heran sekaligus kesal, saya kembali bertanya, "Jadi, tidak ada kereta lain untuk bisa pulang?"

"Ada."sang petugas berucap, "Gerbong Taksaka tambahan, loketnya buka nanti jam dua siang."

Melihat jam tangan di handphone, saya mengangguk. Tiga jam lagi. Maka saya pun berlalu.

Penantian demi sebuah tiket Taksaka baru dimulai. Tiga jam di Gambir ditemani Kompas dan berhenti sejenak untuk sholat dan ke toilet, membuat saya mati bosan. Bayang-bayang kenyamanan kamar kost-an bertarung dengan keinginan untuk pulang, sebelum liburan saya habis.

Pukul dua. Saya menuju loket kembali.

"Gerbong Taksaka tambahan untuk pemberangkatan malam ini dibukanya baru nanti jam 7 malam. Diundur." Suara petugas itu membuat sirine kemarahan di telinga berdengung-dengung. Rutukan menggema di hati saya. Sial!

Maka saya pun memutuskan untuk pulang ke kost. Sebelumnya saya bertemu dengan penumpang lain, orang Jogja juga, yang menyarankan saya untuk membeli Gajayana dan Bima (tujuan akhir Malang), namun saya memilih tidak karena harga tiketnya lebih mahal daripada pesawat promo. Di jalan, saya bertemu mobil SBY (yang ini kalimat sumbang, hahahaha xp).

Akhirnya, berhubung saat itu saya puasa, maka saya memilih untuk leyeh-leyeh di kost-an sambil menunggu adzan. Saya menggoreng sosis untuk buka puasa, memasukkannya ke dalam tupperware, menyiapkan minum, dan packing. Saya siap untuk berjuang demi tiket Taksaka lagi jam 7 malam nanti. Akhirnya, setelah selesai sholat maghrib dan berbuka, saya diantar Mas Gito (penjaga kost-an), berangkat (lagi) ke Gambir.

Sampai di Gambir dan tiba di tempat pembelian karcis, saya terbelalak. Ini luar biasa! Antrian di depan loket Taksaka sudah hampir sampai ke depan deretan pertokoan dan restoran, seperti ular, sangaaat panjaaaaaang. Gila! saat itu pukul setengah 7 malam, dan belakangan saya baru tahu kalau gerbong tambahan Taksaka untuk malam itu hanya diperuntukkan bagi 50 orang. Luluh lantak harapan saya untuk pulang. Benar saja, tidak sampai sepuluh menit setelah loket buka, tiket ludes.

Tiba-tiba, petugas berbaju setengah polisi dari Gambir berseru kepada penumpang yang masih mengantri tanpa nasib jelas seperti saya, "Tiket Taksaka, yang mau beli langsung naik ke peron 3 dan 4. Cepat!"

Sontak, saya berlari menuju tempat peron melewati tangga-tangga Gambir. Eskalator tidak saya indahkan. Bagaikan diburu angin dan dengan perasaan kalut, tekad saya malam itu adalah harus pulang bagaimanapun caranya. Sudah sejauh ini, sayang kalau setengah-setengah.

Ternyata, benar. Memang ada tiket untuk Taksaka, bahkan untuk Argo Lawu. Tapi... tanpa tempat duduk!

Okay. Saya hampir menyerah sampai akhirnya bertemu dengan seorang mbak yang bekerja di perusahaan farmasi yang ada di kawasan Bintaro, Mbak Uun namanya. Ia mengajak saya untuk nekat, karena kepalang tanggung sudah di Gambir dan telah bersiap dengan segala bawaan. Keringat sudah mengucur, pikiran dipenuhi tiket kereta dan tiket kereta. Akhirnya, saya mengangguk. Hati sempat bergumul, bagaimana kalau orangtua saya tahu? Kekhawatiran ibu terdengar jelas, omelan beliau juga, yang semua demi kebaikan saya. Namun, hei, kamu hampir 4 jam ada di stasiun ini, Naela, kenapa ragu? Sekalian saja, tuntaskan! Ada sesuatu yang berteriak di kepala saya untuk menjalani semua ini.

Akhirnya, saya setuju saja untuk pulang dengan kondisi tidak jelas, situasi yang tidak pernah terbayangkan oleh saya. Padahal, tiket tanpa tempat duduk ini sama harganya dengan tiket dengan tempat duduk.

Perjuangan untuk pulang dimulai ketika saya dan Mbak Uun memutuskan membeli Taksaka. Kami menunggu kereta di bangku yang ada di samping peron 4. Saya mengunyah masakan yang saya bawa di tupperware, berusaha melupakan dan tak mau ambil pikir apa yang akan terjadi nanti. Sampai akhirnya, seorang mas-mas yang bekerja di Argo Lawu menawarkan saya dan Mbak Uun untuk ikut saja naik kereta itu, karena datangnya lebih cepat dari Taksaka. Kami pun mengiyakan. Saya seperti kehilangan akal, bagaimana kalau malam ini saya kenapa-kenapa? bagaimana kalau di kereta saya seperti gelandangan?

Kereta Argo Lawu datang, saya naik. Saat itu pukul delapan malam.

Pernyataan saya sebelumnya bahwa saya kenapa-kenapa bisa salah bisa tidak. Tapi pernyataan bahwa saya seperti gelandangan adalah benar. Saya dapat merasakan nyamannya duduk di kursi penumpang hanya selama tiga jam, dari Jakarta sampai stasiun Cirebon, sebelum penumpang yang 'sebenarnya' (yang mendapatkan tiket duduk) masuk gerbong. Selebihnya, saya duduk di lantai yang ada di bagian paling belakang kursi penumpang, entah ada di gerbong berapa.

Beralaskan kertas koran, menggunakan jaket angkatan untuk menahan semilir AC yang menusuk, saya berusaha tidur. Alas kereta yang keras membuat tulang-tulang protes, saraf pun memberi sinyal nyeri. Hampir enam jam, saya berusaha setengah mati untuk terpejam dengan posisi duduk di bawah, kepala bersandar pada tiang penyangga, tas di depan kedua kaki, dengan doa agar semua saya lalui tanpa terasa. Mata saya berkaca-kaca. Perasan seharusnya semua ini tidak terjadi menyerbu. Ini gila. Tidak waras. Saya cewek, saya sendirian, saya di Jakarta, saya tidak kenal siapa-siapa. Di saat seperti itu, tiba-tiba saya berpikir bahwa bukan situasilah yang gila, tapi saya.

Sampai akhirnya, alhamdulillah, pukul setengah lima kurang sepuluh menit saya tiba di Stasiun Tugu Jogja. Menghirup udara pagi yang segar, saya lemaskan otot-otot saya. Bersandar di emperan kursi stasiun memanjakan tulang-tulang belakang saya yang sempat mengaduh. Sambil menunggu ibu (yang sampai sekarang tidak tahu bahwa saya pulang dengan kondisi mengenaskan) menjemput, saya sesekali mengobrol dengan Mbak Uun. Selebihnya, kami berada dalam diam dan pikiran masing-masing. Momen di dalam kereta tanpa tempat duduk, dikasihani banyak penumpang yang menawarkan selimut, membantu memberikan tempat untuk tidur, masih jelas membekas.

Yang perlu saya tekankan dari cerita saya adalah, kalau di tempat lain waktu dihitung maju, di Jakarta itu tidak berlaku. Waktu dihitung mundur. Kalau jam delapan kita memiliki kegiatan untuk beraktivitas, paling tidak jam enam kita harus bersiap. Kalau hari Kamis ini kita berniat untuk pergi ke luar Jakarta, paling tidak dua minggu sebelumnya sudah memesan tiket.

Semoga ini menjadi pelajaran untuk kita semua. Katakan tidak untuk kata 'mendadak' :)

0 Response to "Kejamnya Jakarta, Malangnya Saya"

Posting Komentar

Cuap-cuap Darimu