Totomatoto #1

Diposting oleh naela , Rabu, 18 Agustus 2010 21.21

Ini adalah sebuah novelet sederhana. Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca. Kritik dan saran akan sangat membantu :)



Jakarta, Agustus 2009.

Langit mengelabu dengan gumpalan awan berderak yang mengisyaratkan mendung. Sore setengah dingin di Jakarta hari itu menggamit kenyamanan tersendiri ketika matahari bergulir malu-malu ke ufuk barat, menyisakan sinarnya yang lembut. Teriknya tergantikan oleh semilir angin yang berdesir halus di sosok mungil berambut hitam sebahu yang tergerai itu. Falya tengah mengaduk spaghetti fetuccini dagingnya dengan enggan di Pastaza, sebuah restoran pasta yang ada di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Mata bulat jernihnya menatap kosong pesanannya yang hampir menjadi adonan setelah satu jam hanya ditumbuknya dengan sendok.

Memorinya mencuat seketika, mengajaknya berkelana ke lima tahun lalu. Sebuah kenangan lama yang ingin ia enyahkan telah tergambar jelas sekarang. Sekuat jiwanya, Falya berusaha menghancurkan bongkahan yang masih tersimpan rapi di sudut hati dan pikirannya. Namun, bukannya berserak, bongkahan itu malah membesar ketika ia berusaha mematahkannya.

Kali ini ia beringsut, sorot matanya jatuh pada sesuatu yang sekarang telah melingkar di jari manis kirinya. Sebuah simbol tak terbantahkan bahwa ia telah dimiliki sebagian, oleh seseorang yang mencintainya, dan ia pilih. Nafasnya terhela panjang ketika ia mengusap lembut cincin emas berhiaskan kupu-kupu mungil itu. Waktu terasa begitu lambat baginya, ingatan itu semakin kuat dan melesak keluar.

*&^%$#@

Kereta Api Taksaka, Juli 2005.

Sudah satu jam kereta meninggalkan Jogja dan melenggang ke Kutoarjo. Sekali lagi Falya berharap bangku di sebelahnya akan tetap kosong sampai tiba di Gambir nanti. Ia masih ingin merenung, menyatu dengan hamparan sawah hijau yang terbentang di jendela. Keputusannya untuk kuliah dan hidup mandiri di Jakarta masih menyisakan sedikit penyesalan. Segenap pertanyaan seputar pertahanan dan kekuatan menggelayutinya.

Kereta berhenti. Harapan Falya terhempas ketika sosok laki-laki jangkung hinggap di bangku sebelahnya. Diam kembali mengambil alih.

Waktu bergulir cepat ketika jam menunjukkan pukul dua belas siang. Tangan kecilnya merogoh Tupperware orange yang ada di dalam ransel merahnya, berharap gemericik perutnya berhenti. Gadis mungil itu membuka meja lipat bangkunya. Satu buah tomat berwarna merah segar ia lahap dengan cepat. Tidak sampai dua menit, ia sudah mengambil tomat kedua.

Laki-laki di sebelahnya melirik sambil mengenyitkan dahi. Satu hal yang terlukis dari mimiknya adalah keanehan. Falya sudah terbiasa dengan tatapan itu. Ia terkikik ketika menangkap pikiran laki-laki itu terbaca, makan tomat dengan lahap tanpa apa pun adalah janggal.

Beberapa saat kemudian, pesanan makanan Audrey, laki-laki itu, datang. Sepiring nasi goreng ayam dengan lalapan di tepiannya. Falya tak berkomentar selain hanya melihat tiga iris tomat di piring putih itu. Tak ada yang bicara selain tatapan mereka yang bertemu sesaat.

Mendadak, gadis kecil berkulit putih itu terusik ketika piring di meja lipat sebelahnya mulai mengkilat bersih, namun menyisakan tiga iris tomat yang sedari tadi ia tangkap. Ini benar-benar mengganggunya. “Kamu tidak suka tomat, ya?”celetuknya spontan.

Audrey menoleh, “Tidak.”

Falya sekilas terlihat ragu, mulutnya sempat terbuka hendak mengatakan sesuatu sampai akhirnya urung. Sedetik kemudian seolah mendapatkan sisa keberanian, ia berujar, “Boleh buat aku?” Falya lega suaranya terdengar wajar, walaupun penuh harap.

Tanpa bersuara, Audrey menyodorkan piringnya. Kerutan di keningya mulai menipis. Sepertinya ia telah memahami sesuatu ketika tanpa basa-basi Falya melahap ketiga irisan itu dalam satu kali suap. “Kamu.. suka sekali tomat?”suara berat itu seakan telah lama ingin memuntahkan pertanyaan ini.

Mata bulat Falya kontan melebar, bening. Ketika irisan itu resmi tertelan, Falya berkata dengan sesungging senyum lebar, “Sangat!” kemudian ia balas bertanya, “Kamu tidak suka?”

Audrey mengangguk. “Karena rasanya asam.”

Falya tergelak. “Justru aku suka tomat karena rasanya asam. Menurutku, aneh sekali kalau ada orang yang tidak suka tomat. Asamnya cuma ada satu di dunia ini, asam tomat ala tomat.” Dan tawa Falya kembali berlanjut.

Orang di sebelahnya kali ini tersenyum simpul.

“Mengapa sih kamu tidak suka?” Seperti petasan, Falya dapat meledak dan terlalu bersemangat ketika sudah ada yang memicunya.

Audrey berpikir sejenak, “Rasa tidak sukaku pada tomat seperti.. yah, ketika kamu diminta membersihkan kandang kambing yang bau. Tanpa berpikir dua kali, pasti kamu tidak suka.”

Falya terdiam, tak menunjukkan respons setuju. “Tidak juga.” Falya meneruskan kalimat dengan serius ketika laki-laki itu mengangkat alis, menunggu kelanjutannya, “Aku sering diminta membersihkan kandang kambing di Klaten, desa pamanku. Aku senang, tidak protes, kok.”

Tiba-tiba Audrey tertawa keras, tergelitik luar biasa pada ungkapan gadis mungil ini. Saat tawanya mereda, ia mendapati Falya kebingungan menatapnya, “Kamu cewek pertama yang aku kenal, yang memiliki hobi membersihkan kandang kambing.”ucapnya masih terkikik.

Raut bingung itu berangsur memudar. Falya meringis lucu, “Tidak juga, sih. Tidak hobi, hanya sebatas mau dan tak terbebani saja.” Ekspresi Falya mendadak berubah, dengan sedikit tajam ia tatap laki-laki di sebelahnya, “Hal yang paling tidak kusukai adalah melihat orang membuang tomat segar.”

Cowok itu terbahak lagi, kali ini Falya menangkap sejumput lesung pipit menghiasi pipi tirus itu. “Baiklah, baik. Aku minta maaf.”

Falya terdiam, berpikir sejenak. Ia mengangkat telapak tangannya seperti polisi yang ingin memberhentikan kendaraan, kemudian bertutur tegas, “Tunggu sebentar.”

Tak sampai lima detik, sebuah tomat merah segar keluar lagi dari Tupperware orange itu. Kali ini ada potongan bulat kecil wortel yang tertempel dua buah, masing-masing di bagian kanan dan kiri salah satu sisi tomat, tampak seperti kedua mata. Lebih ke bawah agak ke tengah, terdapat potongan timun melengkung seperti goresan bibir yang tersenyum. Kening laki-laki itu semakin menyatu, mulutnya setengah terbuka, bingung menerka-nerka.

“Ini Totomato, Raja Tomat hari ini yang masih mengemban misi mulia.”celetuk Falya ceria, menghadapkan ‘wajah tersenyum’ Totomato ke arah Audrey. “Kalau mau minta maaf, lebih baik ke Totomato. Karena gara-gara ketidaksukaanmu pada tomat, para tomat terhambat menjalankan misi mulianya.”

Audrey tertawa kecil, gadis ini lucu sekali baginya. Sangat acak dan terduga, padahal baru beberapa menit yang lalu mereka bertegur sapa. “Memangnya apa misi mulianya?”

“Disantap oleh manusia dalam kondisi segar.”

Tawa Audrey beganti menjadi gumaman tanda mengerti. “Kalau gagal?”

“Tunggu saja kehadiran Totomato dan pasukannya di mimpimu. Mereka akan menghantuimu.” Ujar Falya ringan, setengah tersenyum. Ia merasa senang ketika Audrey meladeni setiap celotehannya mengenai tomat karena tidak semua orang akan menanggapinya. Cukup dengan kata ‘apaan sih,Faaaaall?’ atau ‘Udah deh, jangan mulai aneh, Fal’ yang selalu terlontar dari orang-orang di sekitarnya, Falya langsung bungkam.

“Baiklah kalau begitu, aku akan menunggunya di mimpiku mulai malam ini.”

Giliran tawa Falya yang pecah. Laki-laki ini lain. Dia tidak menganggapku aneh, ajaib.

Halo, Universitas Indonesia!

Diposting oleh naela 20.49

Dulu aku berkerah putih
berpadu juntai rok abu-abu
Berjalan sedikit tertatih
mencari persimpangan satu
pilihan alurku

Selamat datang di Universitas Indonesia!

Seragamku menguning
Makaraku menghijau
lonceng semangatku berdenting
rintik banggaku guyur kemarau

Langkahku tersendat penat
Erat kerap menyayat
Sulit, ya, rumit
sering aku terjerembab sakit
demi jas putih, anganku lambat terakit

ilmu terpasang
ramah-tamah terbentang
senyum mereka terkembang
masyarakat tunggu kami datang

Selamat datang di dunia medis, kedokteran!
Selamat datang penerus Aesculapius!



Jakarta, Agustus 2010
"Selamat datang adik-adikku 2010" :D

Amarah Mencabik Luka

Diposting oleh naela 20.46

Amarah mencabik luka
Deru cemburu menerjang, membabi buta
Menjilat, meradang jauh ke ampela
“Dia punyaku!”
Gertakku menggema, pun tertelan huru-hara

Kunyalangkan sorotan setan
Kulemparkan libasan makian
Kuhempaskan tangisan, untuk kesekian
Dan wanita itu terkungkung ketakutan

“Kamu dan aku sudah tamat.”
Kau buyarkan asa impian berdua
Kau gadaikan serpihan mimpi bersama
Dan getas pun menggempur sukma
Derak hatiku meronta
Kau tega!

“Hentikanlah.”
Rasaku ambruk
Hancur terpuruk
Busur-busur lidahmu memanahku
Nyeri!
“Aku sayang wanita ini. Bukan kau lagi.”