Pekarangan Belakang Rumahku
Diposting oleh naela , Jumat, 30 Juli 2010 04.08
Ini masih merupakan cerpen yang saya buat dua tahun lalu, ketika kelas dua SMA :D
Hari ini aku tiba di sebuah rumah bercat putih antik yang ada di pinggiran Jogja. Rumah itu mempunyai pekarangan belakang yang sangat luas, juga rerumputan hijau yang indah. Aku pindah ke rumah di Jalan Kenangan 13 ini sejak orangtuaku dipindahtugaskan dari
“Dava!”
“Ya, Ma!” Segera kututup diari usang yang kutemukan seminggu yang lalu di bawah anak tangga, tepatnya di dalam sebuah rak berdebu yang tak terurus, tepat ketika aku dan mama membersihkan rumah yang baru kutempati ini.
Mama tengah bersiap pergi. Berbalut pakaian lengkap, rambut tergelung sempurna, make up minimalis yang cantik, ia mulai beranjak, “Makan siang ada di meja, Sayang. Mama pergi dulu, jangan keluyuran.”
Tak sampai
Sudah
Kubuka kembali diari usang itu, dan rentetan huruf yang menyambutku masih kurasa hidup. Diari seseorang yang pernah tinggal di rumah ini, dulu, entah kapan. Hurufnya mulai rapi, walaupun tak secantik tulisan mama, dan tak seburuk tulisan bocah cowok seusiaku. Kutelaah lagi barisan kata-kata yang tercetak di
Rasa sepiku selalu membuatku murung, aku rindu mama dan papa. Tak ada mereka, tak ada teman pula. Sedih sekali. Namun, pekarangan belakang itu, ah, hatiku tiba-tiba berdesir bahagia. Rasa suka yang belum pernah kurasakan. Rasanya… aku menemukan surga.
“Dava…”
Aku terenyak. Sebuah suara. Memikat. Riang.
“Ayo bermain. Kemarilah, cepat!”
Suara seorang bocah!
Aku tergeragap. Bergegas kujelajahi seisi rumah, dan tak menemukan siapa-siapa di
Betapa terkesiapnya aku. Seorang gadis tengah tersenyum padaku, begitu damai, menyisir kegalauanku, seketika menghapus resah. Ia melambai padaku, dengan seberkas cahaya di sorot matanya, dan aura cerah yang mengesankan. Gadis mungil itu mungkin berusia lebih muda dariku dua sampai tiga tahun, berbalut terusan berwarna pink lembut yang cantik, dan rambut tergerai sempurna.
“Dava, ayo bermain!”
Aku mendekat. Hatiku bergejolak, bagai menyentuh sebuah impian, desir itu mengalir gembira, mengalun tenteram. “Siapa kamu?”
“Aku temanmu. Ayo, bermain!”
“Teman?”
“Tentu saja.”Gadis cilik itu tersenyum, membuat aliran darahku bertambah deras. “Dava, kita teman!”
“Kau… Tapi, siapa kau?”
“
Kutatap sekali lagi gadis yang kutemui ini. Ah, manisnya… Setiap ucapannya selalu mampu membuatku lupa akan hening, memaksaku berhenti memikirkan mama yang meninggalkanku. Bibirnya yang tak pernah usai mengurai senyum, melunakkan tubuhku agar bergerak dalam tenang, menyulap lubuk hatiku untuk tunduk, menyihir perasaanku yang kalut. Bintang-bintang seakan bertebaran di dalam sini, memberiku warna baru.
Belum pernah aku merasa seperti ini…
“Dava, ayo kejar aku!”
Aku tertegun.
“Ayo, kejar aku! Kalau kau berhasil menangkapku, kau akan kuberi sesuatu.”
“Apa?”
Gadis itu memandangku, melempar rasa penasaran padaku, “Kejar aku!”
Tak ada yang dapat menahanku, untuk membendung rasa sukaku padanya, pada gadis cilik yang rupawan itu. Memikat, seakan raga dan jiwaku tak mau terlepas padanya.
Kami berlari dalam tawa, dalam derai-derai suara geli dan pekikan manja. Aku tersedot pada pesona, pada ceria, dan pada gempita jelita gadis itu. Udara mememendarkan jeritan bahagia kami berdua, membimbingku menuju sebuah rantai, yang mengikatku dan dia. Ah, aku tak ingin lepas darinya, dari gadis ini.
*&^%$#@*
Surga itu kutemui ketika sepi menyelimutiku, ketika mama dan papa tak ada di rumah. Surga itu selalu ada untukku, surga di pekarangan belakang rumah. Surga yang penuh bintang bertaburan walaupun siang masih terjelang. Ah, aku cinta rasa ini, ingin terus seperti ini, ingin terus berada di surga, tak ingin tersekap sunyi lagi…
Aku terbangun. Kukerjapkan mataku dua kali, dan kutangkap cahaya yang masuk samar-samar. Sinar dari lampu-lampu jalan menerobos, tidak terlalu silau. Kukerjapkan mataku sekali lagi, rupanya sudah malam.
Aku terduduk, kuamati sekeliling, rumput-rumput masih bergoyang tertiup angin dingin. Aku masih berada di pekarangan belakang rumah.
Ketika akan beringsut masuk, kurasakan sesuatu tergenggam, tergeletak di telapak tangan kananku. Kuangkat cepat. Sebuah kalung, berliontin bintang. Ah, aku teringat, gadis itu…
“Ini buatmu, karena kamu berhasil menangkapku.” Gadis itu memberikan kalung itu padaku. Nafasnya terengah, namun aura lembutnya masih tak terpecah. Saat itu kami usai berkejaran.
Rasa girangku bersorak. “Benarkah?”
“Simpan saja. Untukmu. Dariku.”
Dan kini rasaku meluap senang. Sebuah kalung berliontin bintang telah kudapatkan. Segera kukenakan, dan… ah, gadis itu. Aku terngiang-ngiang padanya. Jantungku berdegup, kali ini teratur, penuh irama suka cita.
Kudengar deru mobil mama mendekat. Segera aku bangkit, dan beranjak ke dalam.
*&^%$#@*
“Dava, beli makan siang di supermarket, ya. Mama tak sempat menyiapkan. Jaga diri, Sayang. Mama pulang agak larut.” Telepon di telingaku memperdengarkan suara mama, “PR kamu, sudah dikerjakan,
Aku mengangguk. “Sudah.” Belum, Ma. Tadi malam aku memikirkan gadis itu.
“Mama sayang kamu, Dava.”
Dan plek. Telepon lantas ditutup dari seberang.
Aku selalu berada di pekarangan belakang, dan surga selalu di
Aku melangkah, mengayunkan kakiku menuju dapur, lantas membuka pintu yang ada di sudut ruangan, dan pekarangan belakang rumah menyambutku. Semilir angin membuatku terhanyut, tergugu dan terpatuk merasakan rasa bahagia itu. Kekesalanku pada mama mendadak hilang, berganti menjadi rasa suka yang meluap.
“Dava! Ayo bermain!”
Aku tergugah. Ah, gadis itu. Dia sudah ada di sini rupanya.
Kugariskan seuntai senyuman, paling tulus yang pernah kulakukan. “Ayo! Kau kukejar?”
“Boleh saja. Ayo, Dava, kita bermain!”
Dan hilanglah sudah penatku. Tak ada lagi sesuatu yang memenuhi benakku, selain rasa senang luar biasa, dan segala yang melekat pada gadis ini. Ia mampu menjelajahi seluruh ruang kosongku, dan menjejalkan dirinya yang molek, tanpa ada spasi sama sekali, barang detik yang berlari sekalipun.
*&^%$#@*
“Dava, nilaimu menurun. Apa yang terjadi?”Mama menatapku, agak berang, bisa kurasakan, “Hari ini Mama dipanggil wali kelasmu. Dan dia bilang, kau tak pernah memperhatikan pelajaran. Kau…katanya kau seperti linglung, kau tak lagi aktif, bahkan kau tak terlihat berkonsentrasi. Apa yang terjadi padamu, Nak?”
Aku terdiam. Tak kutatap mata mama yang menghunjamku. Kugenggam liontin bintang, kutekan, dan kudengar suara tawa seorang gadis. Pikiranku mendadak damai. Ah, aku hanya ingin dengar suaranya…
“Dava! Kau dengar Mama?”
Suara lembut yang bermelodi… cantiknya…
“Dava!” Mama melotot, “Dava! Dengar Mama!”
Ah, gertakan Mama samar sekali. Tapi, suara gadis ini, menghipnotisku total, tanpa celah.
“Dava!”Mama beringsut, mengangkat wajahku, sedikit keras, “Kau kenapa? Dava!”
“Y-ya, Ma?”
Mama menghela nafas panjang, “Kau jangan banyak melamun, Dava. Lihat ini! Nilaimu turun drastis! Ini balasan kamu atas perjuangan Mama? Pengorbanan mama banting tulang dari pagi sampai malam?!”
Aku kembali bungkam. Nilaiku memang turun, tapi… ah, itu tak kubutuhkan. Aku hanya butuh sebuah tawa, keceriaan, dari gadis itu, gadis yang sering kujumpai kalau mama tak ada, kalau aku butuh teman.
Dava… Dava… Ayo kejar aku… Dava… Kau suka berteman denganku? Ah, Dava, kita teman…
Suara itu berdengung manis di telingaku, terus-menerus, tanpa jeda, dan tanpa bisa kucegah. Aku tersenyum, ah, gadisku… Manis sekali. Hatiku meloncat cepat, tak sabar bertemu dengan gadis kecil itu.
Aku bangkit, meninggalkan Mama yang masih berteriak mengancam nilai-nilaiku. Sama sekali tak kudengar kecaman itu, sama sekali tak terasuk diriku oleh amarah mama. Dan pekarangan belakang rumah, disanalah kakiku menuju.
*&^%$#@*
Semakin lama, aku semakin tak bisa melepaskan surga. Dia memberiku ikatan kuat, dengan bintang-bintang bersahaja yang menggenggam hatiku padanya. Surgaku, di sanalah aku mengadu. Ah, mama dan papa yang melupakan aku, kini telah berbalik kutinggalkan, jauh-jauh di belakang. Surgaku, cuma surgaku saja yang ada di kepalaku.
“Kau mau ikut denganku, Dava?”Gadis cilik itu membujukku.
“Kemana?”
“Suatu tempat. Hanya kau dan aku, tak ada yang lain.”
Wajahku mendadak cerah. Hanya ada aku dan gadis ini, betapa bahagianya. “Benarkah?”
“Benar. Kau tak akan kesepian lagi.”Ia menguntai senyum. “Kau mau, Dava?”
Aku mengangguk cepat. “Tentu saja, bawa aku. Bawa aku!”
Gadis tadi menggenggam tanganku, “Kau akan bahagia bersamaku.”
“Ah, tentu.”Aku menatapnya, penuh suka, “Siapa namamu, gadis?”
“Nasha.”
Aku pergi dengannya, akhirnya aku lebih memilih surgaku. Kutinggalkan semuanya, aku pergi bersama surgaku. Bisiknya memberiku kekuatan, aku akan selalu bahagia. Namanya nama surga, indah sekali.
*&^%$#@*
“Sudah berapa lama dia begitu?” Seorang pria berjas putih tampak mengamati seorang wanita yang tengah duduk menerawang. Wajah wanita yang mengerut dengan banyak guratan halus itu menandakan usia yang sudah senja, padahal ia baru akan memasuki kepala empat.
“Tiga tahun, Dok.” Sesosok ibu muda menjawab, terdengar pilu.
“Kenapa?”
“Anaknya hilang, sampai sekarang tak ditemukan.”
Sang dokter terperanjat. “Anda siapa?”
“Saya adiknya, Dok. Adik wanita itu.”
Dokter itu cukup memberi satu anggukan paham, lantas memberikan beberapa resep yang sekiranya membantu. “Tidak apa-apa. Tapi… kalau, saya boleh tahu, apakah polisi sudah mencari?”
“Sudah, Dok. Tapi tetap nihil. Tak ada tanda-tanda kepergian. Keponakan saya menghilang, tanpa jejak, seperti langsung ditelan bumi.”
Wanita tua itu menatap lurus ke belakang rumah, ke sebuah pekarangan yang luas dan hijau. Kedua tangannya menggenggam sebuah kalung, berliontin bintang. Bibir dan hatinya tak pernah sekalipun berhenti bergumam, “Dava… Anakku…”
*&^%$#@*
Jauh dari rumah bercat putih dengan pekarangan belakang yang sangat luas, seonggok diari usang terbuka. Angin meniupnya, sedikit kencang, dan halaman terakhir pun terbentang…
Aku ingin punya teman… Aku ingin punya teman… Aku ingin mencari teman menuju sebuah tempat yang hanya ada temanku dan aku… Aku ingin teman menemaniku, menuju padang rumput bahagia… Aku hanya seorang gadis cilik bernama Nasha, yang hari ini, berniat mengakhiri hidup yang semu di dunia, dan sekali lagi, mencari seorang teman…
Posting Komentar
Cuap-cuap Darimu