Kejamnya Jakarta, Malangnya Saya

Diposting oleh naela , Jumat, 30 Juli 2010 04.19

Ini pengalaman kesekian di Jakarta yang membuat saya kembali mengelus dada. Berusaha menyambut kesabaran yang hadir ketika tangan saya sampai ke kulit, masuk ke hati saya. Saya (kali ini agak mendadak) berencana pulang ke kampung halaman di Jogja. Karena baru terpikirkan hari itu (Kamis, 28 Juli 2010), maka mau tidak mau, saya bertekad pulang dengan kereta. Gambir menjadi tujuan utama hari itu.


Pukul sebelas saya beranjak dari kost langsung menuju Gambir dengan bajaj. Sampai disana, antrian sepi. Saya buru-buru mengambil formulir, meminjam pena dari calon penumpang lain (saya benar-benar tanpa persiapan), dan menuju loket pembelian karcis Taksaka, kereta eksekutif tujuan akhir Jogja.

"Tiketnya sudah habis, Mbak."ujar petugas kepada saya.

Kaget, saya kembali bertanya, "Kalau pakai Argo Lawu?" Argo Lawu adalah kereta eksekutif tujuan akhir Solo, dan berhenti di Stasiun Tugu Jogja.

"Harus pesan untuk dua kursi."

Tubuh saya melemas. Ini hari Kamis, biasanya Gambir penuh ketika hari Jumat menjelang akhir pekan. Terutama untuk tujuan Jogja dan luar Jakarta. Heran sekaligus kesal, saya kembali bertanya, "Jadi, tidak ada kereta lain untuk bisa pulang?"

"Ada."sang petugas berucap, "Gerbong Taksaka tambahan, loketnya buka nanti jam dua siang."

Melihat jam tangan di handphone, saya mengangguk. Tiga jam lagi. Maka saya pun berlalu.

Penantian demi sebuah tiket Taksaka baru dimulai. Tiga jam di Gambir ditemani Kompas dan berhenti sejenak untuk sholat dan ke toilet, membuat saya mati bosan. Bayang-bayang kenyamanan kamar kost-an bertarung dengan keinginan untuk pulang, sebelum liburan saya habis.

Pukul dua. Saya menuju loket kembali.

"Gerbong Taksaka tambahan untuk pemberangkatan malam ini dibukanya baru nanti jam 7 malam. Diundur." Suara petugas itu membuat sirine kemarahan di telinga berdengung-dengung. Rutukan menggema di hati saya. Sial!

Maka saya pun memutuskan untuk pulang ke kost. Sebelumnya saya bertemu dengan penumpang lain, orang Jogja juga, yang menyarankan saya untuk membeli Gajayana dan Bima (tujuan akhir Malang), namun saya memilih tidak karena harga tiketnya lebih mahal daripada pesawat promo. Di jalan, saya bertemu mobil SBY (yang ini kalimat sumbang, hahahaha xp).

Akhirnya, berhubung saat itu saya puasa, maka saya memilih untuk leyeh-leyeh di kost-an sambil menunggu adzan. Saya menggoreng sosis untuk buka puasa, memasukkannya ke dalam tupperware, menyiapkan minum, dan packing. Saya siap untuk berjuang demi tiket Taksaka lagi jam 7 malam nanti. Akhirnya, setelah selesai sholat maghrib dan berbuka, saya diantar Mas Gito (penjaga kost-an), berangkat (lagi) ke Gambir.

Sampai di Gambir dan tiba di tempat pembelian karcis, saya terbelalak. Ini luar biasa! Antrian di depan loket Taksaka sudah hampir sampai ke depan deretan pertokoan dan restoran, seperti ular, sangaaat panjaaaaaang. Gila! saat itu pukul setengah 7 malam, dan belakangan saya baru tahu kalau gerbong tambahan Taksaka untuk malam itu hanya diperuntukkan bagi 50 orang. Luluh lantak harapan saya untuk pulang. Benar saja, tidak sampai sepuluh menit setelah loket buka, tiket ludes.

Tiba-tiba, petugas berbaju setengah polisi dari Gambir berseru kepada penumpang yang masih mengantri tanpa nasib jelas seperti saya, "Tiket Taksaka, yang mau beli langsung naik ke peron 3 dan 4. Cepat!"

Sontak, saya berlari menuju tempat peron melewati tangga-tangga Gambir. Eskalator tidak saya indahkan. Bagaikan diburu angin dan dengan perasaan kalut, tekad saya malam itu adalah harus pulang bagaimanapun caranya. Sudah sejauh ini, sayang kalau setengah-setengah.

Ternyata, benar. Memang ada tiket untuk Taksaka, bahkan untuk Argo Lawu. Tapi... tanpa tempat duduk!

Okay. Saya hampir menyerah sampai akhirnya bertemu dengan seorang mbak yang bekerja di perusahaan farmasi yang ada di kawasan Bintaro, Mbak Uun namanya. Ia mengajak saya untuk nekat, karena kepalang tanggung sudah di Gambir dan telah bersiap dengan segala bawaan. Keringat sudah mengucur, pikiran dipenuhi tiket kereta dan tiket kereta. Akhirnya, saya mengangguk. Hati sempat bergumul, bagaimana kalau orangtua saya tahu? Kekhawatiran ibu terdengar jelas, omelan beliau juga, yang semua demi kebaikan saya. Namun, hei, kamu hampir 4 jam ada di stasiun ini, Naela, kenapa ragu? Sekalian saja, tuntaskan! Ada sesuatu yang berteriak di kepala saya untuk menjalani semua ini.

Akhirnya, saya setuju saja untuk pulang dengan kondisi tidak jelas, situasi yang tidak pernah terbayangkan oleh saya. Padahal, tiket tanpa tempat duduk ini sama harganya dengan tiket dengan tempat duduk.

Perjuangan untuk pulang dimulai ketika saya dan Mbak Uun memutuskan membeli Taksaka. Kami menunggu kereta di bangku yang ada di samping peron 4. Saya mengunyah masakan yang saya bawa di tupperware, berusaha melupakan dan tak mau ambil pikir apa yang akan terjadi nanti. Sampai akhirnya, seorang mas-mas yang bekerja di Argo Lawu menawarkan saya dan Mbak Uun untuk ikut saja naik kereta itu, karena datangnya lebih cepat dari Taksaka. Kami pun mengiyakan. Saya seperti kehilangan akal, bagaimana kalau malam ini saya kenapa-kenapa? bagaimana kalau di kereta saya seperti gelandangan?

Kereta Argo Lawu datang, saya naik. Saat itu pukul delapan malam.

Pernyataan saya sebelumnya bahwa saya kenapa-kenapa bisa salah bisa tidak. Tapi pernyataan bahwa saya seperti gelandangan adalah benar. Saya dapat merasakan nyamannya duduk di kursi penumpang hanya selama tiga jam, dari Jakarta sampai stasiun Cirebon, sebelum penumpang yang 'sebenarnya' (yang mendapatkan tiket duduk) masuk gerbong. Selebihnya, saya duduk di lantai yang ada di bagian paling belakang kursi penumpang, entah ada di gerbong berapa.

Beralaskan kertas koran, menggunakan jaket angkatan untuk menahan semilir AC yang menusuk, saya berusaha tidur. Alas kereta yang keras membuat tulang-tulang protes, saraf pun memberi sinyal nyeri. Hampir enam jam, saya berusaha setengah mati untuk terpejam dengan posisi duduk di bawah, kepala bersandar pada tiang penyangga, tas di depan kedua kaki, dengan doa agar semua saya lalui tanpa terasa. Mata saya berkaca-kaca. Perasan seharusnya semua ini tidak terjadi menyerbu. Ini gila. Tidak waras. Saya cewek, saya sendirian, saya di Jakarta, saya tidak kenal siapa-siapa. Di saat seperti itu, tiba-tiba saya berpikir bahwa bukan situasilah yang gila, tapi saya.

Sampai akhirnya, alhamdulillah, pukul setengah lima kurang sepuluh menit saya tiba di Stasiun Tugu Jogja. Menghirup udara pagi yang segar, saya lemaskan otot-otot saya. Bersandar di emperan kursi stasiun memanjakan tulang-tulang belakang saya yang sempat mengaduh. Sambil menunggu ibu (yang sampai sekarang tidak tahu bahwa saya pulang dengan kondisi mengenaskan) menjemput, saya sesekali mengobrol dengan Mbak Uun. Selebihnya, kami berada dalam diam dan pikiran masing-masing. Momen di dalam kereta tanpa tempat duduk, dikasihani banyak penumpang yang menawarkan selimut, membantu memberikan tempat untuk tidur, masih jelas membekas.

Yang perlu saya tekankan dari cerita saya adalah, kalau di tempat lain waktu dihitung maju, di Jakarta itu tidak berlaku. Waktu dihitung mundur. Kalau jam delapan kita memiliki kegiatan untuk beraktivitas, paling tidak jam enam kita harus bersiap. Kalau hari Kamis ini kita berniat untuk pergi ke luar Jakarta, paling tidak dua minggu sebelumnya sudah memesan tiket.

Semoga ini menjadi pelajaran untuk kita semua. Katakan tidak untuk kata 'mendadak' :)

Pekarangan Belakang Rumahku

Diposting oleh naela 04.08

Ini masih merupakan cerpen yang saya buat dua tahun lalu, ketika kelas dua SMA :D


Hari ini aku tiba di sebuah rumah bercat putih antik yang ada di pinggiran Jogja. Rumah itu mempunyai pekarangan belakang yang sangat luas, juga rerumputan hijau yang indah. Aku pindah ke rumah di Jalan Kenangan 13 ini sejak orangtuaku dipindahtugaskan dari Jakarta. Tak ada siapa-siapa selain aku ketika mereka bekerja. Aku satu-satunya anak mereka, tak ada pembantu, bahkan tak ada teman bermain.

“Dava!”

“Ya, Ma!” Segera kututup diari usang yang kutemukan seminggu yang lalu di bawah anak tangga, tepatnya di dalam sebuah rak berdebu yang tak terurus, tepat ketika aku dan mama membersihkan rumah yang baru kutempati ini.

Mama tengah bersiap pergi. Berbalut pakaian lengkap, rambut tergelung sempurna, make up minimalis yang cantik, ia mulai beranjak, “Makan siang ada di meja, Sayang. Mama pergi dulu, jangan keluyuran.”

Tak sampai lima detik, Mama pun menghilang dari pandangan. Beberapa saat kemudian, deru mobil yang kian menjauh membuatku kembali ke diriku, dan kesepian itu menyergap cepat. Hari itu hari Minggu, namun mama masih saja bekerja.

Sudah lima tahun sejak kematian papa, aku dan mama hidup berdua. Berbekal penghasilan mama sebagai pegawai bank, hidup kami sudah lebih dari cukup. Bahkan, di usiaku yang beranjak 13, mama masih mampu memenuhi segala yang kuinginkan, mulai dari sekolah, sampai playstation. Kami hidup dalam aman, walaupun belaian mama lambat laun berkurang, karena kesibukannya mendua, memadu kasih dengan pekerjaan. Ah, aku rindu kecupan Mama…

Kubuka kembali diari usang itu, dan rentetan huruf yang menyambutku masih kurasa hidup. Diari seseorang yang pernah tinggal di rumah ini, dulu, entah kapan. Hurufnya mulai rapi, walaupun tak secantik tulisan mama, dan tak seburuk tulisan bocah cowok seusiaku. Kutelaah lagi barisan kata-kata yang tercetak di sana.

Rasa sepiku selalu membuatku murung, aku rindu mama dan papa. Tak ada mereka, tak ada teman pula. Sedih sekali. Namun, pekarangan belakang itu, ah, hatiku tiba-tiba berdesir bahagia. Rasa suka yang belum pernah kurasakan. Rasanya… aku menemukan surga.

“Dava…”

Aku terenyak. Sebuah suara. Memikat. Riang.

“Ayo bermain. Kemarilah, cepat!”

Suara seorang bocah!

Aku tergeragap. Bergegas kujelajahi seisi rumah, dan tak menemukan siapa-siapa di sana. Semua kamar dan ruangan kugeledah, tak kudapati seorang pun di dalamnya. Suara itu memanggil lagi, kali ini begitu dekat, dan pekat, sangat jelas. Kubuka pintu depan, masih nihil. Segera aku berlari ke dapur, menuju sebuah pintu yang terletak di sudut ruang, pintu menuju pekarangan belakang, yang luas dan hijau. Kutekan handle, dan pemandangan di depanku membuatku ternganga.

Betapa terkesiapnya aku. Seorang gadis tengah tersenyum padaku, begitu damai, menyisir kegalauanku, seketika menghapus resah. Ia melambai padaku, dengan seberkas cahaya di sorot matanya, dan aura cerah yang mengesankan. Gadis mungil itu mungkin berusia lebih muda dariku dua sampai tiga tahun, berbalut terusan berwarna pink lembut yang cantik, dan rambut tergerai sempurna.

“Dava, ayo bermain!”

Aku mendekat. Hatiku bergejolak, bagai menyentuh sebuah impian, desir itu mengalir gembira, mengalun tenteram. “Siapa kamu?”

“Aku temanmu. Ayo, bermain!”

“Teman?”

“Tentu saja.”Gadis cilik itu tersenyum, membuat aliran darahku bertambah deras. “Dava, kita teman!”

“Kau… Tapi, siapa kau?”

Kan sudah kubilang, aku ini temanmu. Aku tinggal di dekat sini. Ayo, bermain!”Gadis itu menarik tanganku, menggegamnya hangat, lalu menuntunku berjalan pelan.

Kutatap sekali lagi gadis yang kutemui ini. Ah, manisnya… Setiap ucapannya selalu mampu membuatku lupa akan hening, memaksaku berhenti memikirkan mama yang meninggalkanku. Bibirnya yang tak pernah usai mengurai senyum, melunakkan tubuhku agar bergerak dalam tenang, menyulap lubuk hatiku untuk tunduk, menyihir perasaanku yang kalut. Bintang-bintang seakan bertebaran di dalam sini, memberiku warna baru.

Belum pernah aku merasa seperti ini…

“Dava, ayo kejar aku!”

Aku tertegun.

“Ayo, kejar aku! Kalau kau berhasil menangkapku, kau akan kuberi sesuatu.”

“Apa?”

Gadis itu memandangku, melempar rasa penasaran padaku, “Kejar aku!”

Tak ada yang dapat menahanku, untuk membendung rasa sukaku padanya, pada gadis cilik yang rupawan itu. Memikat, seakan raga dan jiwaku tak mau terlepas padanya.

Kami berlari dalam tawa, dalam derai-derai suara geli dan pekikan manja. Aku tersedot pada pesona, pada ceria, dan pada gempita jelita gadis itu. Udara mememendarkan jeritan bahagia kami berdua, membimbingku menuju sebuah rantai, yang mengikatku dan dia. Ah, aku tak ingin lepas darinya, dari gadis ini.

*&^%$#@*

Surga itu kutemui ketika sepi menyelimutiku, ketika mama dan papa tak ada di rumah. Surga itu selalu ada untukku, surga di pekarangan belakang rumah. Surga yang penuh bintang bertaburan walaupun siang masih terjelang. Ah, aku cinta rasa ini, ingin terus seperti ini, ingin terus berada di surga, tak ingin tersekap sunyi lagi…

Aku terbangun. Kukerjapkan mataku dua kali, dan kutangkap cahaya yang masuk samar-samar. Sinar dari lampu-lampu jalan menerobos, tidak terlalu silau. Kukerjapkan mataku sekali lagi, rupanya sudah malam.

Aku terduduk, kuamati sekeliling, rumput-rumput masih bergoyang tertiup angin dingin. Aku masih berada di pekarangan belakang rumah.

Ketika akan beringsut masuk, kurasakan sesuatu tergenggam, tergeletak di telapak tangan kananku. Kuangkat cepat. Sebuah kalung, berliontin bintang. Ah, aku teringat, gadis itu…

“Ini buatmu, karena kamu berhasil menangkapku.” Gadis itu memberikan kalung itu padaku. Nafasnya terengah, namun aura lembutnya masih tak terpecah. Saat itu kami usai berkejaran.

Rasa girangku bersorak. “Benarkah?”

“Simpan saja. Untukmu. Dariku.”

Dan kini rasaku meluap senang. Sebuah kalung berliontin bintang telah kudapatkan. Segera kukenakan, dan… ah, gadis itu. Aku terngiang-ngiang padanya. Jantungku berdegup, kali ini teratur, penuh irama suka cita.

Kudengar deru mobil mama mendekat. Segera aku bangkit, dan beranjak ke dalam.

*&^%$#@*

“Dava, beli makan siang di supermarket, ya. Mama tak sempat menyiapkan. Jaga diri, Sayang. Mama pulang agak larut.” Telepon di telingaku memperdengarkan suara mama, “PR kamu, sudah dikerjakan, kan?”

Aku mengangguk. “Sudah.” Belum, Ma. Tadi malam aku memikirkan gadis itu.

“Mama sayang kamu, Dava.”

Dan plek. Telepon lantas ditutup dari seberang.

Aku selalu berada di pekarangan belakang, dan surga selalu di sana, selalu ada untukku, menghiburku, dan membelaiku dengan canda. Mama dan papa… Aku telah menemukan surgaku, dan aku tak akan pernah kesepian lagi.

Aku melangkah, mengayunkan kakiku menuju dapur, lantas membuka pintu yang ada di sudut ruangan, dan pekarangan belakang rumah menyambutku. Semilir angin membuatku terhanyut, tergugu dan terpatuk merasakan rasa bahagia itu. Kekesalanku pada mama mendadak hilang, berganti menjadi rasa suka yang meluap.

“Dava! Ayo bermain!”

Aku tergugah. Ah, gadis itu. Dia sudah ada di sini rupanya.

Kugariskan seuntai senyuman, paling tulus yang pernah kulakukan. “Ayo! Kau kukejar?”

“Boleh saja. Ayo, Dava, kita bermain!”

Dan hilanglah sudah penatku. Tak ada lagi sesuatu yang memenuhi benakku, selain rasa senang luar biasa, dan segala yang melekat pada gadis ini. Ia mampu menjelajahi seluruh ruang kosongku, dan menjejalkan dirinya yang molek, tanpa ada spasi sama sekali, barang detik yang berlari sekalipun.

*&^%$#@*

“Dava, nilaimu menurun. Apa yang terjadi?”Mama menatapku, agak berang, bisa kurasakan, “Hari ini Mama dipanggil wali kelasmu. Dan dia bilang, kau tak pernah memperhatikan pelajaran. Kau…katanya kau seperti linglung, kau tak lagi aktif, bahkan kau tak terlihat berkonsentrasi. Apa yang terjadi padamu, Nak?”

Aku terdiam. Tak kutatap mata mama yang menghunjamku. Kugenggam liontin bintang, kutekan, dan kudengar suara tawa seorang gadis. Pikiranku mendadak damai. Ah, aku hanya ingin dengar suaranya…

“Dava! Kau dengar Mama?”

Suara lembut yang bermelodi… cantiknya…

“Dava!” Mama melotot, “Dava! Dengar Mama!”

Ah, gertakan Mama samar sekali. Tapi, suara gadis ini, menghipnotisku total, tanpa celah.

“Dava!”Mama beringsut, mengangkat wajahku, sedikit keras, “Kau kenapa? Dava!”

“Y-ya, Ma?”

Mama menghela nafas panjang, “Kau jangan banyak melamun, Dava. Lihat ini! Nilaimu turun drastis! Ini balasan kamu atas perjuangan Mama? Pengorbanan mama banting tulang dari pagi sampai malam?!”

Aku kembali bungkam. Nilaiku memang turun, tapi… ah, itu tak kubutuhkan. Aku hanya butuh sebuah tawa, keceriaan, dari gadis itu, gadis yang sering kujumpai kalau mama tak ada, kalau aku butuh teman.

Dava… Dava… Ayo kejar aku… Dava… Kau suka berteman denganku? Ah, Dava, kita teman…

Suara itu berdengung manis di telingaku, terus-menerus, tanpa jeda, dan tanpa bisa kucegah. Aku tersenyum, ah, gadisku… Manis sekali. Hatiku meloncat cepat, tak sabar bertemu dengan gadis kecil itu.

Aku bangkit, meninggalkan Mama yang masih berteriak mengancam nilai-nilaiku. Sama sekali tak kudengar kecaman itu, sama sekali tak terasuk diriku oleh amarah mama. Dan pekarangan belakang rumah, disanalah kakiku menuju.

*&^%$#@*

Semakin lama, aku semakin tak bisa melepaskan surga. Dia memberiku ikatan kuat, dengan bintang-bintang bersahaja yang menggenggam hatiku padanya. Surgaku, di sanalah aku mengadu. Ah, mama dan papa yang melupakan aku, kini telah berbalik kutinggalkan, jauh-jauh di belakang. Surgaku, cuma surgaku saja yang ada di kepalaku.

“Kau mau ikut denganku, Dava?”Gadis cilik itu membujukku.

“Kemana?”

“Suatu tempat. Hanya kau dan aku, tak ada yang lain.”

Wajahku mendadak cerah. Hanya ada aku dan gadis ini, betapa bahagianya. “Benarkah?”

“Benar. Kau tak akan kesepian lagi.”Ia menguntai senyum. “Kau mau, Dava?”

Aku mengangguk cepat. “Tentu saja, bawa aku. Bawa aku!”

Gadis tadi menggenggam tanganku, “Kau akan bahagia bersamaku.”

“Ah, tentu.”Aku menatapnya, penuh suka, “Siapa namamu, gadis?”

“Nasha.”

Aku pergi dengannya, akhirnya aku lebih memilih surgaku. Kutinggalkan semuanya, aku pergi bersama surgaku. Bisiknya memberiku kekuatan, aku akan selalu bahagia. Namanya nama surga, indah sekali.

*&^%$#@*

“Sudah berapa lama dia begitu?” Seorang pria berjas putih tampak mengamati seorang wanita yang tengah duduk menerawang. Wajah wanita yang mengerut dengan banyak guratan halus itu menandakan usia yang sudah senja, padahal ia baru akan memasuki kepala empat.

“Tiga tahun, Dok.” Sesosok ibu muda menjawab, terdengar pilu.

“Kenapa?”

“Anaknya hilang, sampai sekarang tak ditemukan.”

Sang dokter terperanjat. “Anda siapa?”

“Saya adiknya, Dok. Adik wanita itu.”

Dokter itu cukup memberi satu anggukan paham, lantas memberikan beberapa resep yang sekiranya membantu. “Tidak apa-apa. Tapi… kalau, saya boleh tahu, apakah polisi sudah mencari?”

“Sudah, Dok. Tapi tetap nihil. Tak ada tanda-tanda kepergian. Keponakan saya menghilang, tanpa jejak, seperti langsung ditelan bumi.”

Wanita tua itu menatap lurus ke belakang rumah, ke sebuah pekarangan yang luas dan hijau. Kedua tangannya menggenggam sebuah kalung, berliontin bintang. Bibir dan hatinya tak pernah sekalipun berhenti bergumam, “Dava… Anakku…”

*&^%$#@*

Jauh dari rumah bercat putih dengan pekarangan belakang yang sangat luas, seonggok diari usang terbuka. Angin meniupnya, sedikit kencang, dan halaman terakhir pun terbentang…

Aku ingin punya teman… Aku ingin punya teman… Aku ingin mencari teman menuju sebuah tempat yang hanya ada temanku dan aku… Aku ingin teman menemaniku, menuju padang rumput bahagia… Aku hanya seorang gadis cilik bernama Nasha, yang hari ini, berniat mengakhiri hidup yang semu di dunia, dan sekali lagi, mencari seorang teman…

Hujan Setelah Pelangi

Diposting oleh naela 03.38


Ini cerpen dibuat ketika kelas dua SMA, sudah dua tahun lebih. Sebenarnya, cerpen ini merupakan tantangan dari rekan saya di kemudian.com, ID nya Noir. Saya diminta membuat cerita roman yang memainkan kata-kata puitis. Saya sudah mencobanya, dan hasilnya.. that's it :) *soriii kalau kepanjangan,huhuhu.




Anjani’s Plot

Hujan menyatu denganmu, jatuh memburai kesejukan. Inderaku mencium bau tanah timpaan hujanmu, aroma yang mengantarku pada wangi tubuhmu, menjejalkanku pada lekukan kasihmu, jalan ke pribadimu.

“Aku selalu mengenang saat pertama mengenalmu, Bima. Kau membuatku basah, dan kedinginan.”

“Ah… Apakah aku begitu tak hangat?”

“Haha… Kau lebih dari beku.”

“Kalau begitu aku adalah es, bukan hujan.”

“Kau bukan es, kau adalah awan beku yang mencair.”

“Bagaimana bisa, Anjani?”

Percik sorot matamu membawa rasa menembus hatiku, Bima.

“Awan yang menari bebas, tak terikat, tapi ia tinggi. Tak mudah kurengkuh, tak mau kugoyahkan. Itu kau, Bimasena.”

“Tapi sekarang kau bisa menyentuhku, Anjani.”

“Ya. Sekarang. Sedangkan dulu, kau diam di sana, enggan menjelma jadi hujan.”

“Ah.”

“Tapi… hahaha… aku berhasil mencairkanmu, setelah tertatih begitu lama. Sekarang, kau adalah hujanku, deras yang hanya turun untukku.”

Bima, hangat yang tersembunyi dalam tebalnya kabutmu telah kutemukan. Dan kini aku bisa memelukmu penuh-penuh.

Who knows how long I've loved you

You know I love you still

Will I wait a lonely lifetime

If you want me to, I will

“Anjani, pernahkah kau mendengar bisikan hujan?”

“Emmm, belum. Apakah berirama?”

Lagi-lagi hujan tertawa, kali ini rintiknya membuatku bahagia.

“Anjani, bisikan itu mengalun bersamamu. Bisikan hatiku. Aku sayang kamu.”

Dan kau mengecapku dengan lembut. Menekan rasaku erat. Hujan itu jatuh lagi, kali ini menimpaku, tepat di atasku, hinggap di tubuhku, dan aku enggan menyuruhnya pergi. Biarkan aku menyerap air hujan sepuasku. Menghisap bisikan dan iramanya sampai luruh.

Apakah aku bisa mendekap hujanmu terus, Bima? Abadi?

Bima’s Plot

Anjani, aku ingin menggapai pintu pelangimu, ingin kumasuki segera, kutelusuri warna cantiknya, kujelajahi jalanan penuh suka yang kau simpan, kurentangkan bisikku di sana, kupendarkan luas, sampai ujung pelangimu lagi.

Ah…

“Kau pelangi tak tersentuh, Anjani. Terlalu indah untuk kubelai.”

“Kenapa kau bilang begitu?”

“Karena kau dan aku memang berjarak.”

“Hujanku, tanpa kau, tak akan ada pelangi.”

“Aku hujan, tak pernah kembali ke atas.”

“Kau bicara apa?”

Anjani, Sayang, aku tak akan bisa menggapai pelangi yang tergantung…

“Kau tahu, pekerjaanku hanya berkeliaran.”

“Tapi mulia, Bima. Hei.”

“Aku hanyalah seseorang yang hinggap dari rumah ke rumah, menetaskan peluh ke dalam balutan surat yang berakhir di kotak pos.”

“Tidak, Bima. Tanpa pekerjaanmu, kau tak akan pernah mengunjungi kotak posku.”

“Dan kau…. Wanita hebat. Duduk di bangku terdepan sebagai seorang cendekia. Seluruh mata tersorot padamu.”

Kumohon, setangkup jiwaku telah kau renggut bulat-bulat, akankah kau sadar, Pelangi?

“Bima, masa depan kita sudah terbentang, ada apa denganmu? Kau ragu pelangi akan pudar?”

“Tidak.”

“Lantas?”

“Aku takut kemarau melenyapkanku, tak membiarkanku tumpah untukmu.”

“Ah, Bima. Aku akan tetap terlukis pada kehadiranmu. Pelangi ada untuk hujan.”

Ketulusanmu menyusup begitu saja, Anjani…

“Bima?”

“Ya?”

“Inikah jawabannya, mengapa kau hantarkan kebekuan yang dingin padaku dulu?”

Anjani, kau berhasil mengupas jiwaku… Apalagi yang bisa kusembunyikan di balik tubuhku?

“Aku bukan pemimpi, dan aku tahu diri.”

“Pelangi memberi mimpi, dan hujan pembawa rizki. Ke depan, kau akan menapak bersamaku. Hampir satu tahun kau mampu memeluk hangatnya pelangi, akankah kau lepas?”

Kau membuatku bungkam. Warnamu terlanjur bersarang sampai derai hujan terakhirku, Anjani. Namun keraguan yang telah mengusikku sejak lama, kini menyeruak, mulai mematahkan kerak pertahananku.

“Bima… Melangkahlah bersamaku. Mari kita hiasi langit kehidupan kita.”

Kau genggam tanganku, binar mata pelangimu menguasai jejak hatiku. Benarkah aku akan sanggup, Anjani? Kau, dengan glamour bias warnimu, dan aku dengan butiran bening tak berarti?

Anjani’s Plot

“Kau lihat cahayaku, Bima?”

“Warnamu sangat jelas, Anjani. Terbias sempurna.”

“Ini berkat hujan semalam, dan deras hari-hari lalu.”

“Ah, kau.”

“Tapi kau senang kan, Bima? Derasmu hari ini lebat.”

Aku paling suka jika hujan tiba-tiba reda sesaat, bersembunyi malu-malu. Di situlah aku temukan sisi lain dari dinginnya hujan.

“Bima, maukah kau benar-benar melukis langit bersamaku? Terikat dalam janji suci pernikahan, menggamit keabadian kasih sayang, memagut pelangi. Maukah?”

Dan hujan yang tak akan pernah tinggalkan pelangi, selalu mengawasi pelangi, dan mengantar kehadiran pelangi. Kekal, Bima. Aku ingin.

Bima’s Plot

Kau nyaris rubuhkan awan, Anjani, meniup keras tubuhku sampai terjengkang.

“Bima?”

Rasa yang kau cipta berhenti di ujung kerapuhan hujan, merambat dalam, memunculkan ketegangan. Hujan tak mau turun sementara.

“Ah.”

“Aku tak bohong. Pelangi citrakan kejujuran.”

“Anjani.”

“Ya?”

Aku bahkan belum ambil pikir, Anjani. Hujan masih terlalu ada di dasar tanah, tak mampu kembali lagi untuk menyentuh biasmu… Sekali turun, selesailah sudah.

“Kau… Kenapa kau begitu yakin?”

“Ya. Hei. Untuk apa aku meragukan dirimu?”

“Anjani, aku bulir hujan terkecil, terbiasa, tak akan pantas bersanding dengan indahnya pelangi.”

“Dan aku juga pelangi biasa. Tak akan muncul jika tak ada rinaimu, barang bulir terkecil sekali pun.”

“Anjani…”

“Jangan ragu, Bima. Kau butuh pelangi, aku butuh hujan. Pelangi cinta hujan. Hujan cinta pelangi. Apalagi?”

Anjani, lihatlah, tengoklah baik-baik diriku!

“Tapi, Anjani. Jarak itu tak bisa kutepis. Langit dan bumi, hujan yang jatuh dengan pelangi yang terpasang. Ah, begitu jauh.”

“Pelangiku dan hujanmu mampu terbias dan jatuh lama.”

“……”

Kau buat kata-kataku terbawa angin, Anjani.

“Kenapa kau memilihku?”

“Karena kau hujan dari awan yang mencair, Bima.”

“Anjani?”

“Tentu saja karena dirimu. Hujan yang bening, tak berlebihan, sederhana, mampu memberi sejuk, dingin namun hangat. Dan terpenting, hujan yang cinta pelangi. Itu kau.”

Apakah begitu? Ah, derai hatiku terbumbung, Anjani Sayang. Tapi, aku rinai lemah, mudah hilang terserap tanah, dan tak mampu kembali ke permukaan, apalagi ke langit lagi.

“Bima, langit menunggu kita, menanti lukisan hujan dan pelangi.”

“Begitukah?”

“Ya. Ia begitu mengharap bubuhan warnaku, mendamba embunmu. Ia ingin taburan bintang kasih sayang yang berjuta, tak terbatas. Ia mimipikan bulan buah cinta kita, Bima.”

“Anjani…”

“Ah, Bima, coba dengar bisikan hujanmu.”

Aku mendengar jelas bisik pelangimu, Anjani.

“Kau dengar sekarang?”

“Tentu.”

“Bisikan hujanmu itulah jawabanmu. Melodi hujanmu.”

Anjani’s Plot

Pelangi tak mau muncul lagi, Bima. Spektrumnya memudar, berpendar acak ke bumi pupuskan warninya. Pintuku telah direnggut matahari, tamanku telah terbawa rengkuhan surya. Kemarau merampas jalan warnaku untukmu. Ya, aku musnah, tanpa hujanmu yang menderas, tanpa rintikan terlemahmu.

Aku tak menemukan hujan. Tapi kudengar bisikan hujanmu.

Bima’s Plot

“Maaf, Anjani. Hujan tak bisa menderasimu. Pematang bumi ke langit tak bisa kulalui.”

“Kenapa?!”

“Kau pelangi sebelum hujan, tak perlu aku.”

“Tak bisa!”

“Satu, Anjani. Hujan tetep berbisik untukmu, selalu, walaupun tak bisa menyambut pelangimu.”

Ah, dan kau dengar Anjani, hujan di luar deras merekah. Kau memang pelangi bagiku, indah yang sesaat. Aku tak bersedih, hanya… Ya, aku benci hujan yang mudah hilang. Akankah kutemukan pelangi sebelum hujan sepertimu?