Orang Baik itu Selalu Ada, kok!
Diposting oleh naela , Rabu, 17 November 2010 06.30
Ya, bahkan di Jakarta yang semua orang memakinya jahat pun, orang baik masih bertebaran. Bukan apa-apa, tapi ini sungguh-sungguh.
Ya, bahkan di Jakarta yang semua orang memakinya jahat pun, orang baik masih bertebaran. Bukan apa-apa, tapi ini sungguh-sungguh.
Kost Falya, Kukusan Kelurahan, Depok, Juni 2005.
“Kenapa kamu suka asamnya tomat?”
Audrey sedang membantu Falya mengemasi buku-buku dan kumpulan diktat kuliah miliknya ketika gadis mungil itu berencana pindah kost dari Kukel (Kukussan Kelurahan) ke daerah Kutek. Sebenarnya, sudah lama Falya ingin pindah karena tubuh kecilnya sering kelelahan ketika harus berjalan agak jauh dari terminal bus kuning, namun baru kali ini ia sempat mengadakan kegiatan beberes yang tak sedikit menguras tenaga ini. Tentu saja setelah musim ujian berakhir.
“Karena,” Falya menjatuhkan tumpukan buku-buku itu sehingga timbul suara berdebum, “Asam itu bijaksana.”
Audrey memasukkan buku-buku yang dijatuhkan Falya tadi ke mobil Ivan, teman kampusnya. Cowok itu sengaja meminjam mobil Ivan demi membantu Falya pindah kost karena gadis itu tidak mempunyai sanak saudara yang dekat dengan kampusnya. Sudah hampir setahun keakraban itu mengikat mereka. “Maksud kamu bijaksana?”
“Yah, asam itu pengingat kita, kalau hidup tak selamanya manis, tak selalu pahit, dan tak melulu datar tanpa rasa.”jawabnya masih tak menengok ke arah Audrey, sibuk dengan kumpulan kertas-kertas yang sedang ia pilah. “Asam itu penuh kejutan, seperti keajaiban yang muncul tiba-tiba. Seperti kita yang selalu menyipitkan mata ketika asam menyentil lidah kita, ada kejutan di situ. Semua tergantung kita, bakal terus berjalan menanti asam-asam lain, menetralkan lidah dengan air putih tawar atau sirup manis, atau bahkan minum jamu brotowali yang pahit.” Falya tertawa kecil membayangkan brotowali dengan harum semerbak itu hinggap di bibirnya, pahitnya bukan main. Ia pernah mencicipinya ketika neneknya membelinya di sebuah pasar yang ada di Jogja.
“Yah, Hidup itu, baik pilihan maupun sudah dipilihkan, pasti berjalan karena kita.”Sambung Falya.
Audrey terhenti dari pekerjaannya sesaat, memutar tubuh. Ia menatap tubuh mungil yang masih berjongkok di hadapan kertas-kertas berserakan itu. “Aku pikir isi kepalamu hanya ada Raja Totomato, Totomatoko, Totimoti, Tomatito, de-es-be.. de-es-be..”
Falya mendongak, “Baru tahu, ya? Aku tomat ajaib!” serunya girang.
Cowok di hadapannya menggelengkan kepala akan ulah ini, “Pastinya.”
Mendadak, Falya bangkit, lantas berjalan mendekati Audrey yang kembali menekuri buku-buku dalam bagasi kijang Ivan yang harus segera dirapikan demi efisiensi ruang untuk barang-barang lain. “Tangan,”gadis itu menggantungkan telapak tangan yang menengadah di udara, tepat di hadapan wajah Audrey, seperti anak kecil yang meminta uang.
“Apa?”Audrey berbalik.
Tanpa dijawab, Falya menyambar tangan kanan Audrey. Gadis itu mengeluarkan sebuah pulpen, kemudian tangan Audrey ia balik, punggung tangannya berada di bawah. Di atas telapak tangan cowok yang kini tengah kebingungan itu, Falya mulai menggoreskan sesuatu. “Fal, Fal, apa-apaan sih?” Audrey tidak siap dengan gerakan tiba-tiba ini.
Falya mendelik, “Diam saja! Jangan banyak gerak, deh!” Dan Audrey menyerah, tidak mungkin menghalangi niat Falya.
Sepuluh detik kemudian, Falya bersorak, “Selesaaaaai!”serunya seraya memamerkan buah karyanya yang tertambat di tangan Audrey, seperti seorang pelukis besar yang baru saja menyelesaikan masterpiece-nya. Cowok itu mengamati dengan seksama. Ada bulatan kecil memenuhi sebagian besar telapak tangannya, dengan rumbaian daun-daun di puncak bulatan itu. Membentuk gambar buah.
“Apa ini? Jeruk?” Ia berseloroh usil. Jelas-jelas ia tahu Falya sedang menggambar tomat.
Gadis di hadapannya memberengut, ia sadar ia tidak begitu pandai menggambar. “Ini tomat!”
“Mana? Tidak ada tulisannya kalau ini tomat.”Audrey tidak menyerah.
Tanpa dinyana-nyana, Falya kembali menarik tangan Audrey, mendekatkan ke wajahnya untuk melihat detail yang lebih jelas. Gadis itu kembali menorehkan sesuatu di situ dengan penanya. Beberapa saat kemudian, ia tersenyum lebar, tampak puas. Sedangkan Audrey penasaran dengan apa yang ditambahkan gadis mungil yang kini terlihat menggemaskan dengan pipi bulat kemerahan itu, pada telapak tangannya.
Tak perlu waktu lebih dari dua detik bagi Audrey, sampai akhirnya tawa cowok itu menyembur keras-keras ketika melihat apa yang terjadi di telapak tangannya. “Kamu polos banget, sih! Memang ABG!” Tawanya membuyar, susah reda.
Kini, tepat di bawah goresan berbentuk bulat itu terdapat tulisan ‘Ini tomat’.
Falya meringis lucu. Audrey tidak tahan untuk tidak mengacak-acak rambutnya, “Dasar tomat bodoh!” Cowok itu tidak menyadari bahwa tindakannya barusan membuat sekujur tubuh Falya sontak seperti disengat listrik. Spontan, gadis itu membekap dada, merasakan jantungnya kembali berdegup. Ia tidak bisa menyembunyikan semu pipinya, namun cukup tersiksa dengan deru di dadanya yang tak kunjung melambat.
“Hmmm.. sepertinya kamu butuh rak buku, Fal.”
Falya tergagap, “Eh.. apa?”
Audrey memandang ke arahnya dengan tatapan sangat tenang, “Kamu perlu rak buku, Falya sayang… Sepertinya ini sangat kurang. Kamu ‘kan masih tahun pertama.”
Gadis itu mengangguk seperti robot. Falya sayang? Panggilan itu menggema-gema dalam pikirannya. Sontak, Falya mengetuk-ngetukkan kepalanya dengan tangan mungilnya. Gemas. Kamu kenapa sih, Falyaaaaa?
“Mau aku buatkan?”
Falya makin mirip orang ling-lung. “Em… ya?”
Audrey mengangguk yakin, “Aku buatkan rak untuk kamu, ya? Mau tidak?”
Gadis mungil di hadapannya mengerjap. Belum kembali ke kenyataan setelah kejadian yang entah bagaimana caranya masih membuatnya belum merasa berpijak di bumi, ia kembali dikejutkan oleh seorang Audrey. “Em… yah, mau… mau.”ia menjawab ragu, berusaha mengendalikan diri secepat mungkin.
Tawa renyah itu menguar, “Kamu kenapa sih? Sok malu-malu.”
“Iya, mau! Sekalian dibuatkan rak buku dengan corak tomat, semua tentang tomat! Dan jangan lupa buat lambang itu di raknya, ya!” Entah mendapat kekuatan dari mana, Falya justru terlampau menguasai diri. Lambang yang ia maksud adalah lukisan tomat dan ‘ini tomat’ yang tergores di atas telapak tangan Audrey. Cowok itu tak menyadari tingkah aneh Falya. Ia kembali terpingkal.
“Sudah kuduga. Pasti bakal ngomong begitu. Request diterima.” Audrey nyengir kuda.
Jakarta yang bising sering memekakkan telinga dan meredakan semangat belajar.
Warning: Seratus persen curhat.
Universitas Indonesia, September 2005.
Falya hampir saja mencelat kaget ketika bertemu dengan Audrey di Jembatan Teksas (Teknik-Sastra) siang itu, sepulang kuliah. Mereka berjalan dalam arah yang berbeda, dan bertemu di tengah-tengah. Sosok itu tentu saja sangat tidak asing baginya.
“Hei, kamuu.. si Taksaka!”teriak Falya heboh, menunjuk Audrey dengan telunjuk.
Audrey terperanjat sampai akhirnya mengenali Falya, “Kamu… Tomat!”
Tawa renyah dari keduanya mengudara, diliputi keterkejutan yang menyenangkan. Langkah kaki mereka membawa kedua sosok itu ke Kantek (Kantin Teknik) untuk sekedar duduk sambil mengisi perut yang lapar. Dalam kesempatan itulah, akhirnya Falya mengetahui bahwa Audrey kuliah di jurusan desain interior, sedangkan dia sendiri mengambil teknik kimia. Di saat itu juga Falya tahu bahwa Audrey berasal dari Jawa, lebih tepatnya Kutoarjo, dan sudah tiga tahun kuliah di UI. Tahun depan Audrey akan menyelesaikan skripsi, agar cepat lulus dan bekerja. Sebagai anak satu-satunya dan kelak menjadi tanggungan orang tua, ia ingin segera membahagiakan ibunya yang tinggal seorang diri di Kutoarjo.
Audrey tidak bisa menyembunyikan tawa ketika ritual makan tomat itu tetap berjalan. Masih seperti biasa, dengan Tupperware orange yang tidak pernah absen sekalipun dari ranselnya, Falya mengunyah tomat di hadapan Audrey.
“Masih benci tomat?”Tanya Falya sambil terus mengunyah.
Cowok di hadapannya mengangguk geli. “Hei, Putri Tomat. Umur kamu berapa, sih?” Iseng, Audrey bertanya. Sosok ini terlalu imut jika menyandang titel anak kuliah.
“Enam belas.”
Audrey terpana. “Kamu serius?”
“Dua-rius seperti dua tomat yang baru saja aku habiskan.”
Antara kagum dan kaget, karena yang ada di hadapannya benar-benar ABG, Audrey akhirnya berseloroh, “Kamu terlalu memuja tomat, sih. Jadilah kamu bantet seperti tomat, kecil seperti tomat, aneh seperti tomat...”
“Iya, aku tahu. Kamu jangkung, tidak aneh, dan dewasa!”tukas Falya sewot, diikuti semburan tawa Audrey yang lama berhenti.
Pertemuan Falya dengan Audrey hari itu adalah benih yang baru saja memunculkan tunas. Benih kecil yang disemai waktu, ditanam ketika berada di kereta api, dan sedang berangsur tumbuh.
*&^%$#@
Teras Kost Audrey, Kukusan Teknik (Kutek) Depok, Januari 2005.
“Ini.”Falya menyodorkan sepapan kayu yang telah ia haluskan pada Audrey, “Sebenarnya kamu mau jadi desainer interior atau tukang kayu, sih?”celetuknya tanpa tedeng aling-aling.
Yang ditanya tergelak, “Dua-duanya. Desainer interior yang bisa mengolah kayu.”jawab Audrey, tak teralihkan dari pekerjaannya memaku dua papan kayu. Keduanya telah ia haluskan, ia ingin pekerjaannya cepat selesai. Ini kali kedua ia mencoba membuat rak buku dengan tangannya sendiri.
Falya menghela napas, tak berkomentar. Setelah mencuci kedua tangannya, ia kembali mengeluarkan Tupperware orange kebanggaannya, dan kembali mengunyah tomat. “Aku tidak mengerti, kenapa ada orang yang diciptakan seterampil kamu dalam hal paku-memaku, poles-memoles, pahat-memahat, semuanya. Aneh, Raja Totomatoko XVII tidak mengutukmu biarpun kamu membenci tomat.”
Audrey menyunggingkan senyum manis. Dia hafal mati dengan segala imajinasi Falya, maupun selorohnya mengenai tomat. Pecinta tomat yang satu itu masih tetap menjadi sosok unik di matanya, karena ia selalu bertingkah laku apa adanya. Audrey sendiri sadar, dia telah memberikan ruang bagi Falya untuk menjadi dirinya sendiri, di hadapannya.
Seketika, Audrey teringat sesuatu. Tangan penuh serpihan kayu itu merogoh saku celana, kemudian mendekat ke arah Falya, duduk di samping cewek itu. “Buat kamu.” Katanya sambil menjulurkan sesuatu tepat di depan Falya.
Falya tertegun sesaat. Ia mendapati satu buah gantungan kunci kayu berbentuk tomat dengan warna merah segar, di atas telapak tangan kekar itu. Tomat yang tersenyum.
“Apa ini? Gantungan kunci? Tomat?” Falya tidak pandai berbohong, terutama pada hal yang penuh kejutan seperti ini. Mimik mukanya melukiskan dengan jelas, guratan gembira itu terpancar dari sana.
“Iya, tomat. Baca belakangnya, dong.” Audrey membalik gantungan berwarna merah tomat itu.
Perlahan tapi pasti, Falya mengurai kalimat yang terukir tanpa ingin melewatkan satu kata pun, “Salam Tomat, Toaudreymat.”ia terkikik geli, “Apa itu Toaudreymat?”
“To-audrey-mat. Audrey yang mulai membuka hati untuk tomat.”
Seketika raut wajah di depan Audrey berbinar. Audrey buru-buru menyambung dengan senyum usil, “Belum diketahui kapan saat itu tiba.”
Falya memukul Audrey perlahan dengan kepalan tangan mungilnya, diselingi bibirnya yang setengah manyun. “Ehm, tapi, anyway, ini bagus banget. Makasih banyak Toaudreymat -aduh susah sekali namamu.”Dan tawa Falya lepas. Mengusap-usap riang gantungan kuci yang sekarang sedang tersenyum untuknya itu. Seketika gadis itu memejamkan mata, mendekap gantungan kunci Audrey di tengah dada, dalam genggaman tangannya. “Semoga Toaudreymat segera mencintai tomat.” Bisiknya seperti berdoa.
Audrey kembali mengulum senyum, gadis ini benar-benar istimewa baginya bulan terakhir ini. Selama tiga tahun kuliah, belum pernah ia merasakan tawa sebanyak ini ketika bersama seseorang. “Aku yang harusnya berterimakasih sama kamu. Aku senang luar biasa bisa mengenal sosok seperti kamu. Makasih, Fal…” Segaris senyum tulus berpadu sorot mata tenang tergambar di wajah teduh itu.
Baru kali ini Falya merasakan degupan jantung yang memburu. Pipi bulatnya memanas, merah seperti rebusan tomat. Kikuk, ia balas tersenyum, lalu menunduk. Bertolak belakang dengan keinginannya untuk melongok ke atas, merengkuh awan yang sedang menari-nari, menyimak suara hatinya.
Designed by Wordpress Themes. Converted into Blogger Templates by Theme Craft