Orang Baik itu Selalu Ada, kok!

Diposting oleh naela , Rabu, 17 November 2010 06.30


Ya, bahkan di Jakarta yang semua orang memakinya jahat pun, orang baik masih bertebaran. Bukan apa-apa, tapi ini sungguh-sungguh.


Orang baik adalah orang yang tidak jahat. Memang, apalagi? -__-"

Bagi saya, orang baik itu bermakna luas, karena baik sendiri adalah kata sifat yang relatif, dan dapat diturunkan. Misalnya, jujur, penolong, rela berkorban, ramah, bertanggungjawab.. semua akan berujung pada kata baik kan? Dia baik karena rendah hati, dia baik karena penyayang.. dst dst.

Tapi, terkadang, buat saya, baik adalah ketika orang itu berhasil memberi manfaat baik orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Baik dapat dipersepsikan oleh orang lain, ketika hati orang itu tersentuh oleh si orang baik, saat ia terbantu, dan ditolong.

Sejujurnya saya ingin bercerita tentang salah seorang senior saya di kampus, yang sangat baik, dan saya super sekali terkesan dengan tindakan dia ini.

Di kampus saya, setiap minggu ada diskusi dua kali, setiap Senin sebagai pertemuan pertama, dan Kamis sebagai pertemuan kedua. Diskusi hari Senin, saya dan kelompok saya (ber-10) membahas kasus yang diberikan, kemudian pada diskusi hari Kamis, kami mempresentasikan masing-masing LTM yang telah dibagi pada diskusi pertama.

Bingung? Saya juga malas menjelaskan. Bosan. Hahaha

Intinya, LTM ini adalah tugas mandiri yang harus dikerjakan oleh masing2 anak, dengan topik sama sesuai kasus, dan judul yang berbeda. Ambil saja kasusnya tentang kanker. Saya membahas mekanisme kanker (patofisiologi, patogenesis), teman saya yang lain membahas faktor risiko kanker, dst dst. Dan ketika diskusi 2, LTM dipresentasikan, sharing, lalu sama-sama mengkaji topiknya.

LTM ini harus difotokopi 10 kali untuk anggota lain dan fasilitator kelompok

Dan senior saya yang baik ini, menawarkan bantuan kepada saya untuk menge-print LTM sudah jadi tentang Lepra, karena print saya rusak. Apa yang dia lakukan? menge-print 10 kali! tinta berwarna! SUBHANALLAH.

Saya sudah memaksa untuk diprint sekali saja, itu sudah makasih banget alhamdulillah banget. Tapi, dia sangat terlampau baiknya, karena tau hari itu idul adha, tidak ada fotokopian buka, besok saya diskusi jam 7 pagi dan belum tentu fotokopian kampus buka juga, maka dia mengeprint-kan semuanya. Sepuluh halaman. Berwarna. langsung saya mendoakannya, semoga senior saya ini menjadi dokter hebat disayang pasien! AMIN!

Dia mengelabui saya. Dengan dalih sedang asyik menonton televisi selama 15-30 menit, dan menemukan fotokopian di Salemba, dia mengeprint ltm saya bolak-balik, baru setelah itu dia memberikan kepada saya. SUPER BAIK KAN? Dia yang menawarkan bantuan terlebih dahulu. Saya sendiri speechless. Asli. Bahkan, untuk tinta printer sendiri aja saya suka irit.. :( bandingkan dengan dia!

See? White lie bahkan juga berperan, bahwa orang itu memang baik.
BAIK SEKALI.


Saya benar-benar terinspirasi.
Semoga saya bisa seperti itu, memberikan lebih kepada orang lain yang telah memberikan sesuatu kepada kita :)




Totomatoto #3

Diposting oleh naela , Sabtu, 13 November 2010 01.59

Kost Falya, Kukusan Kelurahan, Depok, Juni 2005.

“Kenapa kamu suka asamnya tomat?”

Audrey sedang membantu Falya mengemasi buku-buku dan kumpulan diktat kuliah miliknya ketika gadis mungil itu berencana pindah kost dari Kukel (Kukussan Kelurahan) ke daerah Kutek. Sebenarnya, sudah lama Falya ingin pindah karena tubuh kecilnya sering kelelahan ketika harus berjalan agak jauh dari terminal bus kuning, namun baru kali ini ia sempat mengadakan kegiatan beberes yang tak sedikit menguras tenaga ini. Tentu saja setelah musim ujian berakhir.

“Karena,” Falya menjatuhkan tumpukan buku-buku itu sehingga timbul suara berdebum, “Asam itu bijaksana.”

Audrey memasukkan buku-buku yang dijatuhkan Falya tadi ke mobil Ivan, teman kampusnya. Cowok itu sengaja meminjam mobil Ivan demi membantu Falya pindah kost karena gadis itu tidak mempunyai sanak saudara yang dekat dengan kampusnya. Sudah hampir setahun keakraban itu mengikat mereka. “Maksud kamu bijaksana?”

“Yah, asam itu pengingat kita, kalau hidup tak selamanya manis, tak selalu pahit, dan tak melulu datar tanpa rasa.”jawabnya masih tak menengok ke arah Audrey, sibuk dengan kumpulan kertas-kertas yang sedang ia pilah. “Asam itu penuh kejutan, seperti keajaiban yang muncul tiba-tiba. Seperti kita yang selalu menyipitkan mata ketika asam menyentil lidah kita, ada kejutan di situ. Semua tergantung kita, bakal terus berjalan menanti asam-asam lain, menetralkan lidah dengan air putih tawar atau sirup manis, atau bahkan minum jamu brotowali yang pahit.” Falya tertawa kecil membayangkan brotowali dengan harum semerbak itu hinggap di bibirnya, pahitnya bukan main. Ia pernah mencicipinya ketika neneknya membelinya di sebuah pasar yang ada di Jogja.

“Yah, Hidup itu, baik pilihan maupun sudah dipilihkan, pasti berjalan karena kita.”Sambung Falya.

Audrey terhenti dari pekerjaannya sesaat, memutar tubuh. Ia menatap tubuh mungil yang masih berjongkok di hadapan kertas-kertas berserakan itu. “Aku pikir isi kepalamu hanya ada Raja Totomato, Totomatoko, Totimoti, Tomatito, de-es-be.. de-es-be..”

Falya mendongak, “Baru tahu, ya? Aku tomat ajaib!” serunya girang.

Cowok di hadapannya menggelengkan kepala akan ulah ini, “Pastinya.”

Mendadak, Falya bangkit, lantas berjalan mendekati Audrey yang kembali menekuri buku-buku dalam bagasi kijang Ivan yang harus segera dirapikan demi efisiensi ruang untuk barang-barang lain. “Tangan,”gadis itu menggantungkan telapak tangan yang menengadah di udara, tepat di hadapan wajah Audrey, seperti anak kecil yang meminta uang.

“Apa?”Audrey berbalik.

Tanpa dijawab, Falya menyambar tangan kanan Audrey. Gadis itu mengeluarkan sebuah pulpen, kemudian tangan Audrey ia balik, punggung tangannya berada di bawah. Di atas telapak tangan cowok yang kini tengah kebingungan itu, Falya mulai menggoreskan sesuatu. “Fal, Fal, apa-apaan sih?” Audrey tidak siap dengan gerakan tiba-tiba ini.

Falya mendelik, “Diam saja! Jangan banyak gerak, deh!” Dan Audrey menyerah, tidak mungkin menghalangi niat Falya.

Sepuluh detik kemudian, Falya bersorak, “Selesaaaaai!”serunya seraya memamerkan buah karyanya yang tertambat di tangan Audrey, seperti seorang pelukis besar yang baru saja menyelesaikan masterpiece-nya. Cowok itu mengamati dengan seksama. Ada bulatan kecil memenuhi sebagian besar telapak tangannya, dengan rumbaian daun-daun di puncak bulatan itu. Membentuk gambar buah.

“Apa ini? Jeruk?” Ia berseloroh usil. Jelas-jelas ia tahu Falya sedang menggambar tomat.

Gadis di hadapannya memberengut, ia sadar ia tidak begitu pandai menggambar. “Ini tomat!”

“Mana? Tidak ada tulisannya kalau ini tomat.”Audrey tidak menyerah.

Tanpa dinyana-nyana, Falya kembali menarik tangan Audrey, mendekatkan ke wajahnya untuk melihat detail yang lebih jelas. Gadis itu kembali menorehkan sesuatu di situ dengan penanya. Beberapa saat kemudian, ia tersenyum lebar, tampak puas. Sedangkan Audrey penasaran dengan apa yang ditambahkan gadis mungil yang kini terlihat menggemaskan dengan pipi bulat kemerahan itu, pada telapak tangannya.

Tak perlu waktu lebih dari dua detik bagi Audrey, sampai akhirnya tawa cowok itu menyembur keras-keras ketika melihat apa yang terjadi di telapak tangannya. “Kamu polos banget, sih! Memang ABG!” Tawanya membuyar, susah reda.

Kini, tepat di bawah goresan berbentuk bulat itu terdapat tulisan ‘Ini tomat’.

Falya meringis lucu. Audrey tidak tahan untuk tidak mengacak-acak rambutnya, “Dasar tomat bodoh!” Cowok itu tidak menyadari bahwa tindakannya barusan membuat sekujur tubuh Falya sontak seperti disengat listrik. Spontan, gadis itu membekap dada, merasakan jantungnya kembali berdegup. Ia tidak bisa menyembunyikan semu pipinya, namun cukup tersiksa dengan deru di dadanya yang tak kunjung melambat.

“Hmmm.. sepertinya kamu butuh rak buku, Fal.”

Falya tergagap, “Eh.. apa?”

Audrey memandang ke arahnya dengan tatapan sangat tenang, “Kamu perlu rak buku, Falya sayang… Sepertinya ini sangat kurang. Kamu ‘kan masih tahun pertama.”

Gadis itu mengangguk seperti robot. Falya sayang? Panggilan itu menggema-gema dalam pikirannya. Sontak, Falya mengetuk-ngetukkan kepalanya dengan tangan mungilnya. Gemas. Kamu kenapa sih, Falyaaaaa?

“Mau aku buatkan?”

Falya makin mirip orang ling-lung. “Em… ya?”

Audrey mengangguk yakin, “Aku buatkan rak untuk kamu, ya? Mau tidak?”

Gadis mungil di hadapannya mengerjap. Belum kembali ke kenyataan setelah kejadian yang entah bagaimana caranya masih membuatnya belum merasa berpijak di bumi, ia kembali dikejutkan oleh seorang Audrey. “Em… yah, mau… mau.”ia menjawab ragu, berusaha mengendalikan diri secepat mungkin.

Tawa renyah itu menguar, “Kamu kenapa sih? Sok malu-malu.”

“Iya, mau! Sekalian dibuatkan rak buku dengan corak tomat, semua tentang tomat! Dan jangan lupa buat lambang itu di raknya, ya!” Entah mendapat kekuatan dari mana, Falya justru terlampau menguasai diri. Lambang yang ia maksud adalah lukisan tomat dan ‘ini tomat’ yang tergores di atas telapak tangan Audrey. Cowok itu tak menyadari tingkah aneh Falya. Ia kembali terpingkal.

“Sudah kuduga. Pasti bakal ngomong begitu. Request diterima.” Audrey nyengir kuda.

Jakarta dari Kacamata Cinta

Diposting oleh naela , Jumat, 12 November 2010 05.59

Jakarta yang bising sering memekakkan telinga dan meredakan semangat belajar.


Tapi, di Jakarta juga saya menemukan teman-teman baru dari segala macam sisi. Saya berbagi, dan belajar tentang mereka dari sudut pandang asal mereka. Itu mengesankan, dan mengasyikkan ketika saya berhasil diterima.

Saya cinta kampus saya. Sungguh.

Mungkin, ketika nanti saya sudah pergi dari kampus ini, dari Salemba, dari Jakarta, saya akan terus merasa kangen. Seberat-beratnya hidup di Jakarta, kota inilah yang mendidik saya untuk mandiri, jauh dari orang tua, menikmati segala tantangannya, dan menemukan banyak pengalaman baru.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, saya bisa merasa se-terbiasa ini. Dulu, ingin sekali kabur dari sana tidak kembali lagi. Karena benar-benar berat. Hidup yang super jauh berbeda dengan Jogja.

Tapi, orang seperti saya yang manja dan mudah merengek atau menangis saja berhasil mencintai Jakarta, bagaimana dengan Anda?

Menurut saya, Jakarta tidak perlu ditakuti. Jakarta adalah kota untuk ditaklukkan. Karena, tidak ada tempat lain lagi yang kehidupannya lebih berat dari Jakarta. Kalau berhasil menaklukkan Jakarta, kemana pun akan pergi, tentu akan menjadi lebih mudah, karena yang tersulit telah dilalui.

:)




Aku Tidak Mau Bego

Diposting oleh naela , Selasa, 09 November 2010 12.11

Warning: Seratus persen curhat.


~~~~~~~~~~~~~~~~~


Sebenarnya, saya bukan orang yang terlalu memikirkan hasil akhir, ataupun mempermasalahkan sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasi (baca: protes). Karena toh yang penting cara kita menggapai, dan bagaimana langkah kita melakukan proses itu agar makin berkembang dan proses-proses yang sudah baik kelak jadi kebiasaan.

Apa pun yang saya dapat, akan menjadi evaluasi bagi diri saya, dan tentu saja, perbaikan ke depannya.

Sebenarnya juga, semua berawal dari sejarah saya bisa menjadi bagian di kampus ini.

Hm. Bukan menjadi barang asing ketika kuliah adalah 'dunia kamu adalah kamu, saya adalah saya'. Nilaiku adalah nilaiku, nilaimu adalah nilaimu. Urusanku-urusanku, urusanmu-urusanmu. Bahkan di fakultas yang menjunjung kesejawatan pun, sedikit-banyak hal itu masih ada. Bukan, saya tidak mau menyalahkan teman-teman saya, mereka sudah terlalu berjuang dan kami pun sama-sama sudah berusaha agar mendapatkan hasil yang maksimal. Tentir praktikum, tentir kuliah, koordinasi slide kuliah, tugas, dan seterusnya, adalah upaya kami untuk kami juga, dan itu sudah menunjukkan bahwa kami, paling tidak untuk saat ini, mau memikirkan orang lain. Intinya, memang ada beberapa teman kadang, bisa dibilang, menyebalkan. Apalagi di tempat penuh kompetisi ini.

Tapi, so what? Dunia tidak akan seru jika dipenuhi oleh satu macam warna, oleh karena itu di dunia ini ada berbagai macam warna manusia. Dan kita? Selain memiliki satu warna pada diri kita sendiri, tentu kita harus bisa menjadi penikmat warna-warni pribadi orang lain.

Poin berikutnya adalah, saya nyasar. Ya, bahkan sampai detik ini saya masih sering berpikir, kok bisa saya ada di kampus ini? Geli kan? Sama. Bahkan it is much more more than i could have dreamed, mimpi pun tidak pernah. Maka, ekspektasi saya di sini juga tidak muluk, saya cuma mau lulus tepat waktu dengan nilai baik (minimal bisa buat masuk spesialis nanti, amin). Tapi, saya juga punya cita-cita tinggi, sebut saja menjadi profesor yang aktif riset di kemudian hari, dan menemukan penyakit atau terapi baru. (Amin lagi)

Kalau boleh jujur, belum pernah saya merasakan kondisi belajar super hebat, dengan anak-anak super pintar (ini tujuh rius sumpah demi ga bohong), super rajin (ini tak terbantahkan), super telaten, super-bisa-apa-aja, super-bisa-ngatur-waktu, super-juara-pas-SMA (ini beneran, sebagian besar), dan seterusnya dan seterusnya. Minder? Jarang, karena pada nyatanya saya diterima dan mereka orang-orang baik. Kagum? Sering. Iri? (dalam konteks baik) Sering. Terinspirasi? Tentu saja. Sebel? Pernah. Merasa menjadi anak paling malas di kampus? Super sering. Merasa paling santai dan ga ambil pusing? Selalu, bahkan sampai sekarang.

~~~

Pengalaman sekolah di SMP dan SMA di Jogja yang, kalau boleh saya bilang, nilanya juga cukup pelit, saya pernah mengalami remed, atau pun mendapatkan nilai yang 1 tambah 1 lebih dikit (hehehe xp) membuat saya cukup kebal terhadap nilai. Bukan cuek, tapi saya pernah mengalami hal itu, tidak cuma sekali, jadi saya bukan tipe orang yang jatuh hanya karena nilai jelek, atau drop, atau memperoleh masalah tidak sesuai dengan ekspektasi. Sedih ada, kecewa ada, tapi insya Allah saya bisa meng-handle nya. Sedikit-banyak, saya senang dengan sisi diri saya yang ini.

Maka, here I am.

I had got bad mark for my exam, and I will do and prepare better for the next.

Mungkin itu yang harus saya sematkan dalam-dalam sekarang.

~~~~~~

Curhat saya nambah nih, hehe. Sejujurnya, saya belum pernah merasakan seumur hidup, belajar seintensif ini, se-ngoyo ini, segila ini, dan semua-semuanya. Bisa dikatakan, belajar di kampus ini adalah effort terbesar saya seumur hidup, jauh lebih berat dari usaha sebelum saya mencari bangku kuliah. Tapi, see? Itu pun masih kurang, dan saya masih harus belajar lagi.

Alhamdulillah, Allah masih menegur saya dengan hal ini. Saya tidak harus belajar lagi untuk remedial. Rasa kecewa saya sebenarnya berakar dari, sudah jauh-jauh saya kuliah meninggalkan kampung halaman, kenapa saya masih kurang berusaha? Kesal. Bayangan tidak bisa memberikan terbaik pada orang tua, mengecewakan mereka, berputar-putar di otak seperti Voldemort, menyerap kebahagiaan.

Tapi kembali lagi, bukan nilai yang saya cari.

Saya mau jadi dokter.

Saya tidak mau bego, lalu saya tidak kompeten, dan saya merugikan pasien. Saya nggak mau bego dan jadi dokter abal.

Tapi saya juga nggak mau jadi dokter yang di masa belajarnya terpaku pada angka di atas kertas.

karena, seumur-umur, saya belum pernah melihat pasien bertanya ke dokternya? "Dok, dulu nilai pas kuliah berapa?" (LUPAKAN, ini random)

~~~~~~

Kalau roda yang berputar itu bisa bicara, tentu dia akan memberitahu saya kapan saya akan jatuh. Tapi sayangnya, dia cuma diam, jadi saya tidak pernah tahu kapan saya ada di bawah. Naik-turun. Itulah hidup. Jadi, sebagai manusia yang penuh keterbatasan, saya sadar saya hanya bisa berusaha terus dan terus.

Ini akan jadi pemicu dan pengingat, bahwa saya tidak boleh ditelungkupi rasa malas dan mudah-jenuh terlalu lama (karena kedua hal ini sangat manusiawi). Ini akan jadi bahan belajar bahwa motivasi saya harus ditingkatkan lagi. Seperti proses pendengaran yang mengubah energi suara menjadi energi listrik, saya harus bisa mengubah rasa sedih dan kecewa menjadi semangat. Toh masih ada waktu. Dan memang benar kan, waktu tidak mengenal terlambat untuk belajar menjadi lebih baik.

Ini akan jadi cambuk saya untuk menjadi lebih dewasa. Semoga saya bisa menjadi lebih baik lagi.


Sekian.
(berasa surat) hahahaha xD





Totomatoto #2

Diposting oleh naela , Sabtu, 06 November 2010 22.33


Universitas Indonesia, September 2005.

Falya hampir saja mencelat kaget ketika bertemu dengan Audrey di Jembatan Teksas (Teknik-Sastra) siang itu, sepulang kuliah. Mereka berjalan dalam arah yang berbeda, dan bertemu di tengah-tengah. Sosok itu tentu saja sangat tidak asing baginya.

“Hei, kamuu.. si Taksaka!”teriak Falya heboh, menunjuk Audrey dengan telunjuk.

Audrey terperanjat sampai akhirnya mengenali Falya, “Kamu… Tomat!”

Tawa renyah dari keduanya mengudara, diliputi keterkejutan yang menyenangkan. Langkah kaki mereka membawa kedua sosok itu ke Kantek (Kantin Teknik) untuk sekedar duduk sambil mengisi perut yang lapar. Dalam kesempatan itulah, akhirnya Falya mengetahui bahwa Audrey kuliah di jurusan desain interior, sedangkan dia sendiri mengambil teknik kimia. Di saat itu juga Falya tahu bahwa Audrey berasal dari Jawa, lebih tepatnya Kutoarjo, dan sudah tiga tahun kuliah di UI. Tahun depan Audrey akan menyelesaikan skripsi, agar cepat lulus dan bekerja. Sebagai anak satu-satunya dan kelak menjadi tanggungan orang tua, ia ingin segera membahagiakan ibunya yang tinggal seorang diri di Kutoarjo.

Audrey tidak bisa menyembunyikan tawa ketika ritual makan tomat itu tetap berjalan. Masih seperti biasa, dengan Tupperware orange yang tidak pernah absen sekalipun dari ranselnya, Falya mengunyah tomat di hadapan Audrey.

“Masih benci tomat?”Tanya Falya sambil terus mengunyah.

Cowok di hadapannya mengangguk geli. “Hei, Putri Tomat. Umur kamu berapa, sih?” Iseng, Audrey bertanya. Sosok ini terlalu imut jika menyandang titel anak kuliah.

“Enam belas.”

Audrey terpana. “Kamu serius?”

“Dua-rius seperti dua tomat yang baru saja aku habiskan.”

Antara kagum dan kaget, karena yang ada di hadapannya benar-benar ABG, Audrey akhirnya berseloroh, “Kamu terlalu memuja tomat, sih. Jadilah kamu bantet seperti tomat, kecil seperti tomat, aneh seperti tomat...”

“Iya, aku tahu. Kamu jangkung, tidak aneh, dan dewasa!”tukas Falya sewot, diikuti semburan tawa Audrey yang lama berhenti.

Pertemuan Falya dengan Audrey hari itu adalah benih yang baru saja memunculkan tunas. Benih kecil yang disemai waktu, ditanam ketika berada di kereta api, dan sedang berangsur tumbuh.

*&^%$#@

Teras Kost Audrey, Kukusan Teknik (Kutek) Depok, Januari 2005.

“Ini.”Falya menyodorkan sepapan kayu yang telah ia haluskan pada Audrey, “Sebenarnya kamu mau jadi desainer interior atau tukang kayu, sih?”celetuknya tanpa tedeng aling-aling.

Yang ditanya tergelak, “Dua-duanya. Desainer interior yang bisa mengolah kayu.”jawab Audrey, tak teralihkan dari pekerjaannya memaku dua papan kayu. Keduanya telah ia haluskan, ia ingin pekerjaannya cepat selesai. Ini kali kedua ia mencoba membuat rak buku dengan tangannya sendiri.

Falya menghela napas, tak berkomentar. Setelah mencuci kedua tangannya, ia kembali mengeluarkan Tupperware orange kebanggaannya, dan kembali mengunyah tomat. “Aku tidak mengerti, kenapa ada orang yang diciptakan seterampil kamu dalam hal paku-memaku, poles-memoles, pahat-memahat, semuanya. Aneh, Raja Totomatoko XVII tidak mengutukmu biarpun kamu membenci tomat.”

Audrey menyunggingkan senyum manis. Dia hafal mati dengan segala imajinasi Falya, maupun selorohnya mengenai tomat. Pecinta tomat yang satu itu masih tetap menjadi sosok unik di matanya, karena ia selalu bertingkah laku apa adanya. Audrey sendiri sadar, dia telah memberikan ruang bagi Falya untuk menjadi dirinya sendiri, di hadapannya.

Seketika, Audrey teringat sesuatu. Tangan penuh serpihan kayu itu merogoh saku celana, kemudian mendekat ke arah Falya, duduk di samping cewek itu. “Buat kamu.” Katanya sambil menjulurkan sesuatu tepat di depan Falya.

Falya tertegun sesaat. Ia mendapati satu buah gantungan kunci kayu berbentuk tomat dengan warna merah segar, di atas telapak tangan kekar itu. Tomat yang tersenyum.

“Apa ini? Gantungan kunci? Tomat?” Falya tidak pandai berbohong, terutama pada hal yang penuh kejutan seperti ini. Mimik mukanya melukiskan dengan jelas, guratan gembira itu terpancar dari sana.

“Iya, tomat. Baca belakangnya, dong.” Audrey membalik gantungan berwarna merah tomat itu.

Perlahan tapi pasti, Falya mengurai kalimat yang terukir tanpa ingin melewatkan satu kata pun, “Salam Tomat, Toaudreymat.”ia terkikik geli, “Apa itu Toaudreymat?”

“To-audrey-mat. Audrey yang mulai membuka hati untuk tomat.”

Seketika raut wajah di depan Audrey berbinar. Audrey buru-buru menyambung dengan senyum usil, “Belum diketahui kapan saat itu tiba.”

Falya memukul Audrey perlahan dengan kepalan tangan mungilnya, diselingi bibirnya yang setengah manyun. “Ehm, tapi, anyway, ini bagus banget. Makasih banyak Toaudreymat -aduh susah sekali namamu.”Dan tawa Falya lepas. Mengusap-usap riang gantungan kuci yang sekarang sedang tersenyum untuknya itu. Seketika gadis itu memejamkan mata, mendekap gantungan kunci Audrey di tengah dada, dalam genggaman tangannya. “Semoga Toaudreymat segera mencintai tomat.” Bisiknya seperti berdoa.

Audrey kembali mengulum senyum, gadis ini benar-benar istimewa baginya bulan terakhir ini. Selama tiga tahun kuliah, belum pernah ia merasakan tawa sebanyak ini ketika bersama seseorang. “Aku yang harusnya berterimakasih sama kamu. Aku senang luar biasa bisa mengenal sosok seperti kamu. Makasih, Fal…” Segaris senyum tulus berpadu sorot mata tenang tergambar di wajah teduh itu.

Baru kali ini Falya merasakan degupan jantung yang memburu. Pipi bulatnya memanas, merah seperti rebusan tomat. Kikuk, ia balas tersenyum, lalu menunduk. Bertolak belakang dengan keinginannya untuk melongok ke atas, merengkuh awan yang sedang menari-nari, menyimak suara hatinya.

*&^%$#@