SURAT

Diposting oleh naela , Sabtu, 30 Oktober 2010 23.14

Kreeeek. Pintu berderit.

Mata itu menghunjamku ditemani segaris senyum hangat. Sedetik pun tak bisa kulepaskan pandangan dari wajahnya, yang kini berada tepat di depan bola mata. Waktu terhitung maju, namun derap jantungku tidak tergerak untuk berdetak.

“Maaf.” Gerakan sopan tanpa cela mengisyaratkan aturan tata karma yang dikuasainya. Pria itu setengah membungkukkan badan, menatapku. “Bulik1 Darti ada?”

Rupanya ia mencari bulikku.

Kuayunkan tangan ke dalam, mempersilakan pria itu masuk ke sebuah ruangan dengan pernik Jawa dan hiasan kuno. Beberapa wayang terpajang rapi di dinding, ditemani sebohlam lampu klasik dan foto-foto keluarga dengan frame cokelat keemasan yang usang. Ruangan tamu dengan corak tradisional yang memendarkan rasa tenang.

Sudah hampir dua tahun aku tinggal di rumah mungil ini, tepat di tengah sebuah perumahan sederhana yang berada di kawasan Keraton Jogja. Nuansa yang asri dan penuh etnik, dengan segudang keramah-tamahan penduduknya yang sekali pun tidak pernah absen memanggil namaku dan berucap permisi ketika berpapasan di jalan. Nyaris tanpa kerusuhan, hidup dalam rasa nyaman, adalah sedikit dari sekian banyak hal yang membuatku cepat beradaptasi setelah kepindahanku dari Jakarta ke kota pelajar ini.

Bergegas aku mengambil beberapa jajanan kue dari dapur dan menyeduh secangkir teh hangat untuk tamu bulik ini, sesosok laki-laki yang sekiranya berumur 20 tahun, tak lebih jauh dariku. Ketika aku kembali, kudapati ia masih berdiri di depan pintu, tak mengambil tempat duduk.

Aku mengernyitkan dahi. Setelah meletakkan jamuan itu di meja, aku menunjuk kursi tamu yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Pria itu meringis, “Duduk?” ia balik bertanya, memastikan. Pria itu menatapku dengan sorot mata sangat bening.

Senyumku menguar. Aku mengangguk.

“Aaaahh.. terimakasih.” Ia segera meletakkan tubuhnya kemudian membalas sesungging senyum untukku.

Kupersilakan ia mencoba hidangan yang kuberikan dengan ayunan tangan lagi.

Dia seolah mengerti. “Kamu memintaku untuk minum dan… makan?” lalu senyumnya kembali melebar ketika mendapatiku mengacungkan jempol, membenarkan. Tanpa basa-basi, tangan kekar itu mencomot satu buah gethuk2 dan melahap cepat. “Enak!” serunya padaku. Tawa renyahnya tak bisa disembunyikan.

“Ah ya,” pria itu segera mengarahkan tangannya padaku setelah membersihkan tangannya dengan tissue, “Namaku Radith.”

Aku membalas salamnya tanpa satu patah kata pun terlontar dari bibirku. Senyumku pada Radith terus melekat tanpa mau kutanggalkan. Sudah hampir dua tahun sejak kejadian itu, hampir seluruh jiwa dan semangatku terenggut. Kematian kedua orangtuaku. Akhir dari segalanya. Paling tidak sebelum aku tinggal di rumah bulik dan menemukan kasih sayang lagi. Setidaknya aku tahu masih ada orang yang mau menerima segenap kekurangan fisikku ini, kelemahan yang sering membuatku berada dalam negeri terasing tanpa suara-suara dan interaksi.

Tanpa kuduga, Radith mengeluarkan secarik kertas dengan ukuran agak besar. Pria itu melipatnya beberapa kali sampai ukurannya hanya sebesar notes kecil. Ia menyerahkan padaku, “Kalau kamu lebih suka menulis, tulis saja nama kamu di situ.”

Aku terperangah. Unik! Bahkan dia tidak merasa rikuh dengan keadaanku.

Melihat keraguanku, ia melakukan hal yang sama dua kali dengan mengambil secarik kertas lagi. “Baiklah. Kalau begitu aku akan menemani kamu. Yuk, mulai sekarang, kita berbicara lewat tulisan, dan surat.” Tegasnya yakin. Matanya berbinar, sedikit pun tidak mengisyaratkan kerikuhan dan ejekan.

Bibirku tak sanggup tertahan lebih lama untuk tertarik ke samping. Kuambil pena yang ia siapkan juga, lantas bersiap menggoreskan kata. Kulirik pria yang melongok penuh rasa penasaran ke arah kertas yang siap kutulis. Ketika kupergoki, ia berpura-pura melihat ke arah lampu yang berada di atas. Aku terkikik tak bersuara.

Sarah.

Kuajukan kertas itu padanya, memberitahu.

“Namamu bagus, Sarah.”

Tak ada yang merespon lebih selain pacu jantungku yang berlari seperti kuda-kuda di arena pertandingan.

Sejak ucapan itu tertera dari bibirnya, impian dan semangatku kembali terbuka. Radith, yang ternyata adalah murid kesayangan Bulik Darti semasa beliau masih mengajar di SMA tiga tahun lalu, sengaja berkunjung untuk mengantarkan undangan pernikahan salah seorang teman SMA-nya yang akan menikah saat itu. Namun, kedekatan kami membuatnya datang lebih sering, apalagi setelah bulik memperkenalkan kami ketika beliau tiba kemudian. Awalnya aku merasa ini hal wajar karena bulik selalu seperti itu, meminta murid-muridnya datang lebih sering dengan harapan akan menjalin pertemanan denganku. Namun, hatiku sering menolak. Aku tidak suka dianggap sebagai sosok yang perlu dikasihani. Trauma membuatku seperti ini, tapi tak ada secuil pun anggota tubuhku yang mengisyaratkan aku cacat.

Sehingga Radith adalah orang pertama dan satu-satunya yang jauh lebih memahami sosokku daripada siapa pun.

*&^%$#@

Aku dan Radith telah berteman empat tahun. Kami bukan lagi seperti anak remaja akhir yang masih sering bertengkar karena hal sepele. Kali ini dia, dan aku, sering membicarakan hal-hal kecil, terutama tentang cita-cita. Sejak dua tahun aku berhenti sekolah karena rasa malu, kini aku memperoleh harapan baru. Aku mulai mau belajar, biar pun itu jauh dari akademis. Aku belajar menjahit dan membatik, kelak ingin menjadi seorang yang ahli membuat batik, dan menjadi duta batik, semua tentang pelestarian batik. Sedangkan Radith memiliki impian jauh lebih tinggi. Ia ingin menjadi seorang ekonom handal yang diakui dunia, dengan penemuan-penemuan baru yang kelak dapat mengubah nasib bangsa.

Kami bermimpi dan sesekali mengkhayal dalam dunia kami. Dalam duniaku yang perlahan ia masuki. Surat-surat itu memang menciptakan diam di antara kami, tapi dunia kami ada. Dunia kami bicara. Kami mendengarkan, kami membangunnya, dan kami jugalah yang menikmatinya.

Kamu gila, hei, Cantik. Aku sudah dua puluh empat tahun dan dua bulan lagi diwisuda! Masa kamu masih menyuruhku menyanyi untukmu? Lagu anak-anak pula!

Aku tertawa tanpa suara. Radith di hadapanku memanyunkan bibir, berusaha protes, dengan gusar ia tulis kata-kata itu. Sebuah gitar berada dalam pangkuannya usai menyanyikan lagu-lagu dangdut kacau ala pengamen pasar beberapa saat lalu.

Kukatupkan kedua tanganku ke tengah, dengan tatapan memohon aku merujuknya. Berulang kali kurayu, kuminta dia untuk menyanyikan lagu anak-anak dengan suara setinggi mungkin.

Baiklah. Tapi syaratnya, kamu harus mendengarkan setiap perkataanku setelah aku menyanyikan permintaan bodohmu, tanpa sekalipun berkata TIDAK.

Aku memutar bola mata lantas mengangguk setuju. Kami berada dalam suasana ceria dan penuh nuansa yang menggembirakan. Aku selalu merasa lepas dekatnya. Seseorang yang mengerti tanpa sedikit pun menyinggung kekuranganku, kebisuanku. Ia mengerti duniaku, dan berusaha memasukinya, tanpa sedikit pun merusak, tanpa segaris pun memberi batas. Ia membuka pikiran dan ekspresiku. Radith hampir segalanya bagiku sejak aku mengenalnya.

“Balonku tinggal empat. Kupegang erat-erat!” Manuver petikan dan gitar itu terselesaikan dengan baik olehnya. Kami bertepuk tangan, menandakan pertunjukan gitar hari itu telah usai. Kami sering seperti ini, baisanya selepas Radith kuliah dan aku selesai belajar batik di tempat les yang tak jauh dari Keraton.

Tiba-tiba sosok itu terdiam. Pelan ia meletakkan gitar, getaran tawanya memudar. Ada yang janggal. Sesuatu yang ingin ia ucapkan dan ia ingin muntahkan, sejak dari tertahan karena aku. Radith menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, ragu dan penuh kekhawatiran.

Wajahku kupapaskan di depan raut muka resahnya, kuangkat alisku, bertanya. Laki-laki itu mengerti. Setelah menghela nafas dalam, ia menatapku. Kusodorkan notes dan pena, tapi ia menolak. “Ini tidak bisa kutulis, Sarah. Aku harus mengucapkannya.”

Aku terperanjat. Rasaku tak menentu. Sangat jarang Radith seperti ini. Mendadak pikiran dan hatiku kacau balau.

“Sarah… kamu teringat mimpi kita berdua kan?” ia bertanya padaku. Sorot matanya masuk terlalu dalam, menusuk mataku.

Dengan cepat aku mengangguk.

“Lalu… kamu tahu impian terbesarku kan?”

Kulakukan hal yang sama. Jantungku beradu tak karuan. Ini gila! Ada apa dengan Radith?

“Aku…” ia tak meneruskan kalimatnya. Ada yang membuat tenggorokannya tercekat, menyebabkan rasa sulit padanya untuk berkata padaku. “Aku mendapatkan beasiswa kuliah di Jerman untuk S2 ilmu ekonomi dan… yah, tiga tahun sekolah di sana.”

Sekujur tubuhku lemas saat itu juga. Semua berputar dan bercampur jadi satu. Hatiku berkecamuk, sulit dilukiskan dengan gabungan 28 huruf atau pun rentetan alfabet. Radith akan… pergi?

“Lusa aku pergi.”

Belum sempat aku menyuarakan perasaanku ia sudah lancang menyela. Lusa! Tubuhku seakan tidak berada di tempat. Aku terlampau sulit menerima. Ini di luar batas, Radith bahkan tidak pernah cerita apa-apa! Ah, kali ini aku membenci diriku yang sejak dulu meyakinkan diri bahwa aku tegar. Aku benci bahwa aku, kali ini, memang perlu dikasihani.

Tanpa sedikit pun merespon lagi, aku segera berlari ke dalam kamar. Inderaku luluh lantak, luapan kata-kata Radith barusan sangat mampu menerobos pertahananku, memporak-porandakan kekuatanku yang telah lama kubangun. Ada yang sesak di dalam sini, nyeri, ketika kutekan dadaku perlahan. Aku merasa dikhianati. Aku merasa tak dianggap.

Sepotong surat Radith barusan: tanpa sekalipun berkata TIDAK. Surat bisu dan memang benar-benar tanpa arti. Ia memaksaku untuk menerima keputusannya, dengan mendadak tanpa kupersiapkan. Radith egois.

Sekali lagi, dan selalu seperti ini. Aku terisak dalam kesunyian. Hanya aku yang tahu.

*&^%$#@

Sarah, bagaimana bisa kamu berlari tanpa berjalan terlebih dulu? Kamu harus mulai dari situ, bahkan merangkak sekali pun! Kamu harus bangkit! Apa kamu senang hidup sendirian dan membiarkan waktu merenggut impianmu?

Sarah, lihat langit itu. Kenapa indah? Karena dia melihat ke arah kita. Dia melihatku, dia menatapmu. Dia mengamati setiap orang. Dia melirik seluruh dunia. Dia tinggi, dia cantik, karena dia terbuka. Cobalah kamu berpikir, bagaimana kamu bisa berada di tempat setinggi langit, kalau hanya untuk melihat sekelilingmu saja tidak mau? Ayo bangkit!

Halo Sarah Cantik. Apa kabar? Aku bawakan segenggam cokelat buatmu. Boleh dimakan kok. Asal aku dibagi. Soalnya kalau tidak, aku pasti akan memintamu menukarku dengan bunga! Prinsip ekonomi, bukan? Hahahahaha

Sarah, ingat ini ya, Sarah yang Cantik. Ayo lihat ke depan, jangan lihat ke belakang. Di depan ada jalanmu, di belakang ada penopangmu yang akan memberitahumu kalau ada yang terlewat dan harus diperbaiki lagi. Tenanglah. Aku mau kok jadi penopangmu.

*&^%$#@

Aku melihatnya lagi. Radith. Setelah empat tahun. Sejak sekian lama terakhir kali pertemuan kami, berakhir dengan pintu kamar yang tertutup erat seiring dengan pintu hati yang kututup untuknya. Terengah-engah aku berusaha melupakan semua tentangnya, seiring dengan rasa sakit hatiku yang dalam. Dikhianati dan dibohongi, dilupakan dan dipermainkan. Semua terekam jelas. Beradu dengan memori kami yang begitu lekat terjalin. Berebut di otakku, manakah yang ingin menguasaiku malam ini.

Sudah lama aku tidak menulis dan beradu dengan kata-kata di atas notes kecil, sekedar mengobrol bahkan mencurahkan perasaan. Tidak ada satu orang pun yang berani melakukannya lagi padaku, dan aku pun tidak lagi mau menulis untuk alasan seperti itu. Semua telah tertutup. Aku benci diriku yang sangat perasa, namun sedikit pun aku tak punya kekuatan untuk melawan. Melupakan Radith, hanya itu yang kuteriakkan di seluruh ruang pikiranku.

Kami duduk berhadapan di ruang tamu bercorak tradisional di rumah Bulik Darti. Tepat seperti pertama kali kami bertemu. Tak ada suara. Tentu saja, hening adalah duniaku dan milikku sepenuhnya.

“Minggu depan aku menikah.”

Tajam. Suara itu seperti sengatan listrik yang menyengat segala persarafan dan persendian. Hatiku merasakan sakit yang kedua kalinya. Aku hampir roboh.

Ah, kamu bodoh, Sarah! Sudah empat tahun, mengapa perasaan sukamu padanya belum hilang? Pada laki-laki yang sudah susah payah kau berusaha lupakan!

“Tapi… Maaf, Sarah. Aku baru datang kemari setelah tiba tiga bulan lalu. Aku dan dia, maksudku, dengan calon isteriku, bertemu di Jerman. Kami sama-sama kembali ke Indonesia dan yah… yah…” Ada keraguan di sana untuk melanjutkan. Aku bisa menebak jalan cerita Radith dengan si gadis.

Mataku memanas, entah apa yang menyebabkan cairan itu mulai menggenang. Dengan cepat aku menahan segala mimik yang mengisyaratkan kesedihan. Kamu sudah disakiti, dan akan disakiti lagi.

Radith mengambil sebuah kotak yang berisi entah apa. Tidak dapat kutebak. Ia meletakkannya dengan pelan, tepat di hadapanku.

“Aku benar-benar minta maaf atas semua yang aku lakukan. Sampai sekarang sepertinya kamu masih marah padaku. Aku kehilangan sosokmu, Sarah. Aku…” Radith tercekat. Perlu waktu beberapa menit sampai ia menguasai diri, “Ini beberapa hal yang kusimpan rapi. Semua tentang kamu. Aku rasa aku perlu mengembalikan semuanya padamu. Aku mohon maafkan aku.”

Sedikit pun mimik wajah ketusku tak berubah, sampai Radith pamit dengan perasaan tak menentu. Bisa kurasakan ada kegetiran dari setiap ucapannya. Rasa bersalah, atau apa pun itu. Aku ingin memaafkannya, namun pahit dan kesedihan selama empat tahun bukanlah waktu singkat untuk begitu saja dihapus. Perlahan, aku membuka kotak yang ia berikan padaku, beberapa saat setelah kepergiannya.

*&^%$#@

Aku pernah mengalami ini. Untuk kedua kali. Berada di dalam kamar dengan pintu terkunci rapat, terisak sendirian tanpa suara. Hanya hening dan perih yang bisa kurasakan. Derai air mata terus bergulir di pipiku, sama sekali tak menyisakan kekuatan untuk tetap tegak.

Kertas-kertas itu berserakan. Memenuhi segala ruangan. Potongan-potongan notes dan diari kecil Radith yang ia berikan padaku beberapa jam yang lalu, tersebar dengan sempurna ke segala penjuru. Tak sedikit pun menyisakan ruang kosong untuk bergerak dan mengutarakan kesedihan lagi.

Semua sudah sesak. Tiap rentetan kata yang terpagut di sana hanya menyisakan segudang penyesalan. Tidak berujung, dan tidak terselesaikan.

Aku ingin sekali menariknya ke kehidupanku. Sarah seperti sosok yang harus kulindungi, dan tidak akan pernah kulepaskan, kecuali dia sendiri yang memintaku melakukannya.

Bagaimana caraku mengatakannya? Aku harus pergi! Namun perasaanku masih kalut. Aku tidak mungkin bilang aku suka padanya!

Baiklah, aku harus bertekad! Aku akan memintanya untuk menungguku kembali dari Jerman. TIDAK BISA TIDAK. ‘Sarah, kau harus ikut aku, tanpa sekalipun berkata TIDAK’ Ahaaa, itu sangat tepat! Tapi bagaimana ini, aku terkena sindrom gelagapan-menyatakan-cinta-pada-wanita!

Dia marah. Ya, dia marah. Dia marah. Ya, dia marah. Sarah marah. Sarah membencimu, Radithya Harnanto. Sarah membencimu karena kamu tidak jujur. Kamu seenaknya. Kamu tidak meminta izinnya. Kamu egois, kamu tidak memikirkan perasaan dia!

Sarahku, sudah cukup terpukul dengan keadaannya. Lalu apa yang kulakukan? Menyakitinya! Pergi ke neraka saja kamu, Radith!

Kali ini aku harus pergi. Ke Jerman. Aku sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku sangat sedih dan benar-benar terpukul. Aku gagal. Aku tidak bisa mengungkapkan perasaan sukaku pada Sarah. Apalagi memintanya menungguku!

Suara isakanku perlahan terdengar, jauh, jauh sekali di lubuk hatiku. Menyisakan mendung di luarnya, mengatakan lagi padaku bahwa memang hanya sunyi yang kali ini mengerti aku.

Ruangan itu kini terbuka, seperti baru. Seluruh tempat yang ada di tubuhku, pikiran maupun hati. Mempersilakan wajah Radith dan semua kenangan tentangnya menyeruak masuk tanpa permisi. Mengisinya sampai sudut, lantas menggedor-gedor pertahananku. Runtuh dan goyah. Empat tahun sia-sia, tanpa sedikit pun kata terbuka. Bagaimana aku bisa seperti langit kalau hanya memandang sekeliling tidak sanggup?

Diam kembali menjadi sahabatku.

Nun jauh di suatu tempat di bawah sana, di sebuah bilik kecil tak terjamah lagi oleh jemari tanganku, terdengar bunyi goresan pena. Mengisi sunyi, membuat hening tak berkutik.

Aku dan Radith.

Maafkan aku.