Hujan Setelah Pelangi
Diposting oleh naela , Jumat, 30 Juli 2010 03.38
Ini cerpen dibuat ketika kelas dua SMA, sudah dua tahun lebih. Sebenarnya, cerpen ini merupakan tantangan dari rekan saya di kemudian.com, ID nya Noir. Saya diminta membuat cerita roman yang memainkan kata-kata puitis. Saya sudah mencobanya, dan hasilnya.. that's it :) *soriii kalau kepanjangan,huhuhu.
Anjani’s Plot
Hujan menyatu denganmu, jatuh memburai kesejukan. Inderaku mencium bau tanah timpaan hujanmu, aroma yang mengantarku pada wangi tubuhmu, menjejalkanku pada lekukan kasihmu, jalan ke pribadimu.
“Aku selalu mengenang saat pertama mengenalmu, Bima. Kau membuatku basah, dan kedinginan.”
“Ah… Apakah aku begitu tak hangat?”
“Haha… Kau lebih dari beku.”
“Kalau begitu aku adalah es, bukan hujan.”
“Kau bukan es, kau adalah awan beku yang mencair.”
“Bagaimana bisa, Anjani?”
Percik sorot matamu membawa rasa menembus hatiku, Bima.
“Awan yang menari bebas, tak terikat, tapi ia tinggi. Tak mudah kurengkuh, tak mau kugoyahkan. Itu kau, Bimasena.”
“Tapi sekarang kau bisa menyentuhku, Anjani.”
“Ya. Sekarang. Sedangkan dulu, kau diam di
“Ah.”
“Tapi… hahaha… aku berhasil mencairkanmu, setelah tertatih begitu lama. Sekarang, kau adalah hujanku, deras yang hanya turun untukku.”
Bima, hangat yang tersembunyi dalam tebalnya kabutmu telah kutemukan. Dan kini aku bisa memelukmu penuh-penuh.
Who knows how long I've loved you
You know I love you still
Will I wait a lonely lifetime
If you want me to, I will
“Anjani, pernahkah kau mendengar bisikan hujan?”
“Emmm, belum. Apakah berirama?”
Lagi-lagi hujan tertawa, kali ini rintiknya membuatku bahagia.
“Anjani, bisikan itu mengalun bersamamu. Bisikan hatiku. Aku sayang kamu.”
Dan kau mengecapku dengan lembut. Menekan rasaku erat. Hujan itu jatuh lagi, kali ini menimpaku, tepat di atasku, hinggap di tubuhku, dan aku enggan menyuruhnya pergi. Biarkan aku menyerap air hujan sepuasku. Menghisap bisikan dan iramanya sampai luruh.
Apakah aku bisa mendekap hujanmu terus, Bima? Abadi?
Bima’s Plot
Anjani, aku ingin menggapai pintu pelangimu, ingin kumasuki segera, kutelusuri warna cantiknya, kujelajahi jalanan penuh suka yang kau simpan, kurentangkan bisikku di
Ah…
“Kau pelangi tak tersentuh, Anjani. Terlalu indah untuk kubelai.”
“Kenapa kau bilang begitu?”
“Karena kau dan aku memang berjarak.”
“Hujanku, tanpa kau, tak akan ada pelangi.”
“Aku hujan, tak pernah kembali ke atas.”
“Kau bicara apa?”
Anjani, Sayang, aku tak akan bisa menggapai pelangi yang tergantung…
“Kau tahu, pekerjaanku hanya berkeliaran.”
“Tapi mulia, Bima. Hei.”
“Aku hanyalah seseorang yang hinggap dari rumah ke rumah, menetaskan peluh ke dalam balutan
“Tidak, Bima. Tanpa pekerjaanmu, kau tak akan pernah mengunjungi kotak posku.”
“Dan kau…. Wanita hebat. Duduk di bangku terdepan sebagai seorang cendekia. Seluruh mata tersorot padamu.”
Kumohon, setangkup jiwaku telah kau renggut bulat-bulat, akankah kau sadar, Pelangi?
“Bima, masa depan kita sudah terbentang, ada apa denganmu? Kau ragu pelangi akan pudar?”
“Tidak.”
“Lantas?”
“Aku takut kemarau melenyapkanku, tak membiarkanku tumpah untukmu.”
“Ah, Bima. Aku akan tetap terlukis pada kehadiranmu. Pelangi ada untuk hujan.”
Ketulusanmu menyusup begitu saja, Anjani…
“Bima?”
“Ya?”
“Inikah jawabannya, mengapa kau hantarkan kebekuan yang dingin padaku dulu?”
Anjani, kau berhasil mengupas jiwaku… Apalagi yang bisa kusembunyikan di balik tubuhku?
“Aku bukan pemimpi, dan aku tahu diri.”
“Pelangi memberi mimpi, dan hujan pembawa rizki. Ke depan, kau akan menapak bersamaku. Hampir satu tahun kau mampu memeluk hangatnya pelangi, akankah kau lepas?”
Kau membuatku bungkam. Warnamu terlanjur bersarang sampai derai hujan terakhirku, Anjani. Namun keraguan yang telah mengusikku sejak lama, kini menyeruak, mulai mematahkan kerak pertahananku.
“Bima… Melangkahlah bersamaku. Mari kita hiasi langit kehidupan kita.”
Kau genggam tanganku, binar mata pelangimu menguasai jejak hatiku. Benarkah aku akan sanggup, Anjani? Kau, dengan glamour bias warnimu, dan aku dengan butiran bening tak berarti?
Anjani’s Plot
“Kau lihat cahayaku, Bima?”
“Warnamu sangat jelas, Anjani. Terbias sempurna.”
“Ini berkat hujan semalam, dan deras hari-hari lalu.”
“Ah, kau.”
“Tapi kau senang
Aku paling suka jika hujan tiba-tiba reda sesaat, bersembunyi malu-malu. Di situlah aku temukan sisi lain dari dinginnya hujan.
“Bima, maukah kau benar-benar melukis langit bersamaku? Terikat dalam janji suci pernikahan, menggamit keabadian kasih sayang, memagut pelangi. Maukah?”
Dan hujan yang tak akan pernah tinggalkan pelangi, selalu mengawasi pelangi, dan mengantar kehadiran pelangi. Kekal, Bima. Aku ingin.
Bima’s Plot
Kau nyaris rubuhkan awan, Anjani, meniup keras tubuhku sampai terjengkang.
“Bima?”
Rasa yang kau cipta berhenti di ujung kerapuhan hujan, merambat dalam, memunculkan ketegangan. Hujan tak mau turun sementara.
“Ah.”
“Aku tak bohong. Pelangi citrakan kejujuran.”
“Anjani.”
“Ya?”
Aku bahkan belum ambil pikir, Anjani. Hujan masih terlalu ada di dasar tanah, tak mampu kembali lagi untuk menyentuh biasmu… Sekali turun, selesailah sudah.
“Kau… Kenapa kau begitu yakin?”
“Ya. Hei. Untuk apa aku meragukan dirimu?”
“Anjani, aku bulir hujan terkecil, terbiasa, tak akan pantas bersanding dengan indahnya pelangi.”
“Dan aku juga pelangi biasa. Tak akan muncul jika tak ada rinaimu, barang bulir terkecil sekali pun.”
“Anjani…”
“Jangan ragu, Bima. Kau butuh pelangi, aku butuh hujan. Pelangi cinta hujan. Hujan cinta pelangi. Apalagi?”
Anjani, lihatlah, tengoklah baik-baik diriku!
“Tapi, Anjani. Jarak itu tak bisa kutepis. Langit dan bumi, hujan yang jatuh dengan pelangi yang terpasang. Ah, begitu jauh.”
“Pelangiku dan hujanmu mampu terbias dan jatuh lama.”
“……”
Kau buat kata-kataku terbawa angin, Anjani.
“Kenapa kau memilihku?”
“Karena kau hujan dari awan yang mencair, Bima.”
“Anjani?”
“Tentu saja karena dirimu. Hujan yang bening, tak berlebihan, sederhana, mampu memberi sejuk, dingin namun hangat. Dan terpenting, hujan yang cinta pelangi. Itu kau.”
Apakah begitu? Ah, derai hatiku terbumbung, Anjani Sayang. Tapi, aku rinai lemah, mudah hilang terserap tanah, dan tak mampu kembali ke permukaan, apalagi ke langit lagi.
“Bima, langit menunggu kita, menanti lukisan hujan dan pelangi.”
“Begitukah?”
“Ya. Ia begitu mengharap bubuhan warnaku, mendamba embunmu. Ia ingin taburan bintang kasih sayang yang berjuta, tak terbatas. Ia mimipikan bulan buah cinta kita, Bima.”
“Anjani…”
“Ah, Bima, coba dengar bisikan hujanmu.”
Aku mendengar jelas bisik pelangimu, Anjani.
“Kau dengar sekarang?”
“Tentu.”
“Bisikan hujanmu itulah jawabanmu. Melodi hujanmu.”
Anjani’s Plot
Pelangi tak mau muncul lagi, Bima. Spektrumnya memudar, berpendar acak ke bumi pupuskan warninya. Pintuku telah direnggut matahari, tamanku telah terbawa rengkuhan surya. Kemarau merampas jalan warnaku untukmu. Ya, aku musnah, tanpa hujanmu yang menderas, tanpa rintikan terlemahmu.
Aku tak menemukan hujan. Tapi kudengar bisikan hujanmu.
Bima’s Plot
“Maaf, Anjani. Hujan tak bisa menderasimu. Pematang bumi ke langit tak bisa kulalui.”
“Kenapa?!”
“Kau pelangi sebelum hujan, tak perlu aku.”
“Tak bisa!”
“Satu, Anjani. Hujan tetep berbisik untukmu, selalu, walaupun tak bisa menyambut pelangimu.”
Ah, dan kau dengar Anjani, hujan di luar deras merekah. Kau memang pelangi bagiku, indah yang sesaat. Aku tak bersedih, hanya… Ya, aku benci hujan yang mudah hilang. Akankah kutemukan pelangi sebelum hujan sepertimu?
Posting Komentar
Cuap-cuap Darimu